Salah satu dari 5 syarat sahnya shalat yang harus dipenuhi yaitu dilakukan di tempat yang suci, baik tempat yang berada di rumah, kantor, tempat kerja, mushalla, masjid, atau lainnya. Adapun 4 syarat lainnya yaitu 1) suci dari hadats kecil dan besar, 2) menutup aurat, 3) mengetahui waktu shalat telah masuk, dan 4) menghadap kiblat.
Persoalan datang ketika seseorang sedang berada di gereja, seperti sedang mengikuti acara di gereja kemudian masuk waktu shalat, sedang bekerja di sekitar gereja lalu adzan berkumandang, atau alasan-alasan lainnya, sementara masjid atau mushalla jauh dari tempat ia berada. Dalam keadaan seperti ini, bolehkah seorang muslim shalat di dalam gereja?
Ibnu Qudamah (w. 620 H), pakar fikih dari madzhab Hanbali dalam karyanya, Al-Mughni, menjelaskan:
وَلَا بَأْسَ بِالصَّلَاةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ، رَخَّصَ فِيهَا الْحَسَنُ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالشَّعْبِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَرُوِيَ أَيْضًا عَنْ عُمَرَ وَأَبِي مُوسَى
“Tidak masalah shalat di dalam gereja yang suci. Hasan Bashri, Umar bin Abdil Aziz, Asy-Sya’bi, Al-Auza’i, Sa’id bin Abdil Aziz telah memperbolehkan shalat di dalam gereja. Demikian juga diinformasikan bahwa Umar bin Khathab dan Abi Musa al-Asy’ari juga memperbolehkannya.” (1968: II, 57).
Sedangkan menurut Ibnu Abbas, Malik, madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, shalat di dalam gereja hukumnya makruh, alasannya karena di dalam gereja ada banyak gambar (ash-shuwar). Pendapat ini dimentahkan Ibnu Qudamah dan para sarjana fikih madzhab Hanbali lainnya dengan menyampaikan bukti sejarah bahwa Nabi Muhammad pernah menjalankan shalat di dalam Ka’bah yang saat itu banyak gambar dan patung. (Ibnu Abidin, 1992: I, 380, Az-Zuhaili, tt: II, 981, Al-Bahuti, tt: I, 293).
Para sarjana fikih yang menghukumi makruh menganggap bahwa gereja adalah tempat setan (ma`wa asy-syayathin) karena di dalamnya ada banyak gambar dan patung. Pandangan demikian juga berlaku untuk tempat-tempat lain yang kerap digunakan maksiat.
Jika mengacu pada pendapat yang menganggap bahwa setan dapat berkumpul di tempat yang di dalamnya kemaksiatan dilakukan, maka tempat-tempat lain yang secara lahiriah menjadi “tempat ibadah umat Islam” tapi digunakan untuk hal-hal yang dilarang agama, seperti menggunjing, menebar kebencian, atau rapat untuk memecah belah persaudaraan antarumat dan bangsa juga dapat dihukumi makruh shalat di dalamnya.
Demikian juga kantor yang digunakan untuk korupsi, tempat kerja yang digunakan untuk maksiat, dan yang lainnya hukumnya makruh shalat di dalamnya, karena menjadi tempat berkumpulnya setan. Tapi, tidak demikian. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin, shalat meski menjadi ibadah yang bersifat lahiriah, yakni dikerjakan oleh anggota tubuh (a’mal al-jawarih), namun erat kaitannya dengan anggota batin dalam mencapai khusyu’. Kehadiran hati di hadapan Allah (hudlur al-qalb) atau khusyu’ merupakan hal yang paling inti di dalam shalat. Al-Ghazali menyebutnya “ruh atau esensi shalat”. (Al-Ghazali, 2004: I, 215).
Kendati khusyu’ oleh para sarjana hukum Islam (fuqaha`) tidak menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, namun kata al-Ghazali tidak boleh dikesampingkan, minimal ketika takbiratul ihram.
Pembahasan tentang khusyu’ (a’mal al-qulub) sengaja disampaikan di sini untuk menjadi pertimbangan bahwa di dalam shalat ada hal lain yang lebih penting dari tempat, yaitu khusyu’. Asalkan tempatnya suci, entah di gereja, sinagoge, sanggar, kantor, rumah sendiri, rumah orang Kristen, rumah orang Khonghucu, rumah orang Budha atau yang lain maka sah-sah saja meski di sekitarnya ada banyak gambar, patung, salib atau lukisan. Selain suci, lebih penting lagi di manapun tempatnya, tetap bisa menghadirkan hati di hadapan Allah atau khusyu’.
Izin Pengurus
Hukum diperbolehkan shalat di dalam gereja atau rumah ibadah milik non muslim lainnya harus disertai izin dari pengurus rumah ibadahnya. Apabila pengurus gereja tidak mengizinkan seorang muslim masuk ke gerejanya atau shalat di dalamnya, maka hukum masuk dan shalat di dalamnya tidak diperbolehkan. Alasannya, non muslim yang dalam literatur fikih klasik disebut “ahlu adz-dzimmah” (orang yang harus dilindungi umat Islam) memiliki hak untuk melarang orang Islam masuk ke gerejanya atau shalat di dalamnya. (Al-Bujairami, 1995: II, 94, Asy-Syirbini, 1994: VI, 78).
Izin di sini bisa melalui ucapan verbal secara langsung dari pengurus gereja atau berdasarkan kebiasaan (ma ‘urifa bi idznihim), yakni gereja atau rumah ibadah non muslim biasa digunakan untuk shalat bagi tamu atau orang-orang Islam yang sedang beraktivitas di sekitarnya.