Persoalan salaman dengan lawan jenis masih menjadi pertanyaan di masyarakat, terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang sudah terbiasa salaman saat bertemu. Kalau tidak salaman, malah dianggap kurang sopan. Kecuali dalam situasi masyarakat yang mentradisikan tidak salaman tentu persoalan ini tidak menjadi masalah. Malah dianggap biasa kalau tidak salaman.
Permasalahan ini pernah ditanyakan kepada Syekh Ali Jum’ah, seorang ulama dari Mesir. “Bagaimana hukum salaman dengan lawan jenis yang bukan mahram bagi Muslim yang menetap di Barat?” Tanya salah seorang penanya. Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa umat Islam menyepakati larangan salam dengan lawan jenis yang bukan mahram. Tapi perlu diketahui, ada juga ulama yang menghukumi boleh salaman dengan lawan jenis, muslim ataupun non-Muslim.
Ada beberapa dalil yang dijadikan rujukan kebolehan salaman dengan lawan jenis. Pertama, Abu Bakar al-Shiddiq pernah bersalaman dengan perempuan ketika menjadi khilafah. Kedua, terkait dalil yang menjelaskan, “Saya tidak bersalaman dengan perempuan…” dipahami khusus untuk Nabi SAW. Ketiga, perempuan kabilah Asy’ari pernah mencari kutu di kepala Abu Musa al-Asy’ari, padahal dia sedang haji, dan mereka bukan mahram. Keempat, ada juga dalil yang menyebut sahabat Nabi pernah makan satu nampan bersama perempuan, dan kadang tangan mereka menyenggol yang lain.
Inilah beberapa dalil yang digunakan ulama yang membolehkan salaman lawan jenis, meskipun bukan mahram.
“Maka singkatnya, dalam ilmu fikih perkara tersebut, ada dua pendapat, pendapat yang mengharamkan dan pendapat yang membolehkan, maka dari itu, seorang muslim bisa, mengikuti mereka yang membolehkan, karena kaidah yang berlaku, tidak boleh berbeda dengan perkara yang sudah disepakati, dan boleh berbeda dengan perkara yang masih diperdebatkan. Dan ini adalah perkara yang diperselisihkan. Bukan yang sudah disepakati” Tegas Syekh Ali Jum’ah.
Perbedaan pendapat dalam fikih keniscayaan. Kalau membaca kitab fikih, pasti menemukan ragam pendapat ulama. Dalam masalah yang diperbedatkan, kita tidak boleh saling menyalahkan dalam masalah yang diperdebatkan hukumnya oleh para ulama. Syekh Ali Jum’ah menambahkan, “Kita boleh mengikuti, orang yang membolehkan, kita wajib berpegang pada kaidah ini, tidak boleh berbeda dengan perkara yang sudah disepakati, dan boleh berbeda dengan perkara yang belum disepakati. Dan juga, keluar dari perselisihan sangat dianjurkan. Tetapi, jika memang kesulitan dalam menjalaninya, maka ikutilah ulama yang membolehkan.”
Kaidah fikih menyatakan, khuruj minal khilaf mustahabbun, keluar dari perbedaan pendapat sangat dianjurkan. Tapi kalau dalam situasi tertentu, sulit untuk keluar dari perbedaan pendapat tersebut, kita dibolehkan untuk mengikuti pendapat ulama yang membolehkan. Misalnya, kalau kita ada di forum yang menentut kita untuk salaman dengan lawan jenis, kita dibolehkan untuk mengikuti pendapat ulama yang membolehkan.
“Dari situlah, orang Muslim merasakan bahwa agama ini sangat relevan dengan ruang dan waktu, dan agama bukanlah sesuatu yang rumit, dalam kehidupan di tengah-tengah manusia,” Ujar Syekh Ali Jum’ah.