Seorang filsuf terkemuka Aristoteles memberikan komentar mengenai pengertian dari hukum, yaitu “particular law is that which each community lays down and applies to its own members yang berarti hukum adalah sebuah aturan yang disepakati oleh setiap komunitas dan diletakannya sebagai dasar serta memiliki konsekuensi untuk mengaplikasikannya oleh segenap komunitas tersebut.
Dari sinilah timbul pertanyaan yang mendasar, “Ketika ada seorang beragama Islam yang hidup di Indonesia, apa kiranya hukum yang ia harus pegang dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat kedua-duanya memiliki kapasitas yang bernada sama, yakni wajib untuk ditaati dan dilaksanakan?”.
Pertanyaan ini seyogianya dapat dipecahkan melalui teropong hukum positif terhadap hukum Islam, begitu juga sebaliknya.
Pertama, bagi hukum positif dalam hal ini Undang-Undang Dasar (UUD) maupun konstitusi, hukum agama memiliki andil tersendiri dalam pengaturannya yang berlaku saat ini. Kehidupan berbangsa di Indonesia memiliki keragaman agama yang diayomi oleh negara dalam rangka melindungi hak-hak mereka dalam beragama. Maka dalam pembuatan suatu undang-undang tidak boleh luput dari norma dan nilai-nilai agama yang luhur yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Contoh nyata dalam lingkup agama Islam adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mengenai wakaf dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Begitu pula dalam hal zakat, Pemerintah mengatur melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Kedua, pandangan hukum Islam terhadap hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam banyak kitab-kitab fiqh Islam yang di antaranya termaktub dalam Syarh Sunan Abu Dawud. Di sana dijelaskan bahwa menetapkan suatu hukum yang tidak diambil dari nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) secara tekstual (sharih) jika itu dalam rangka kemaslahatan umat dan menghindari kerusakan ditatanan umat, maka menurut Utsman bin Affan dapat dibenarkan, diterima dan diikuti.
Hal diatas diperjelas oleh Imam as-Dasuqi dalam Hasiyyah-nya, bahwa jika pemerintah membuat hukum hukum terkait sesuatu, baik yang berkonotasi wajib, sunnah atau mubah, jika demi kemaslahatan bersama, maka wajib untuk diterima dan ditaati oleh segenap warga negara.
Tentu dengan catatan, hukum tersebut tidak bertentangan dengan syariat, yakni tidak adanya suatu perintah dari pemimpin dalam hal kemaksiatan atau melanggar batas-batas syariat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dan dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari.
Akhirnya, dapat dipahami bahwa selaku muslim Indonesia, haruslah tunduk pada hukum Islam dan hukum positif. Itu karena keduanya tidaklah bertabrakan. Katakanlah jika itu terjadi, maka harus ada perbaikan dengan cara musyawarah bersama sesuai ketentuan yang berlaku. Hal tersebut sangatlah diperlukan guna menciptakan stabilisasi hukum nasional di Indonesia, terlebih meredam kelompok-kelompok yang hendak mempertentangkan antara agama dan negara.
Terakhir penulis mengutip kaul KH. Hasyim Asy’ari, beliau mengatakan, “Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari Agama, dan keduanya saling menguatkan”.
Wallahu A’lam.