Hukum Menjamak Shalat Bagi Pengantin

Hukum Menjamak Shalat Bagi Pengantin

Hukum Menjamak Shalat Bagi Pengantin
Ilustrasi. (Foto: Weding Makassar)

Saat mengadakan resepsi pernikahan, pengantin terutama mempelai wanita biasanya menggunakan pakaian dan riasan yang berbeda dari hari biasa. Apabila resepsi diadakan di siang hari, umumnya jika menghapus dan memakai lagi riasan akan cukup merepotkan dan menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi jika tamu undangan membludak, semakin tidak memungkinkan bagi pengantin untuk meninggalkan pelaminan.

Lantas, apakah boleh bagi pengantin menjamak shalat zuhur dengan ashar? Bagaimana hukum menjamak shalat bagi pengantin?

Kriteria Kebolehan Jamak Shalat

Shalat adalah salah satu ibadah yang utama dan wajib dikerjakan oleh setiap muslim pada waktunya. Namun, Islam memberikan keringanan kepada seseorang dalam keadaan tertentu. Misalnya keringanan menjamak (mengumpulkan dua waktu shalat dalam satu waktu) bagi orang yang sedang bepergian (musafir) jauh, sakit, dan dalam keadaan hujan.

Ketiga kriteria kebolehan menjamak shalat di atas yakni musafir, sakit, dan dalam keadaan hujan biasa kita temui di kitab-kitab fikih klasik. Sedangkan alasan lain sebagai kebolehan menjamak shalat jarang sekali dibahas.

Dalam kitab hadis Shahih Muslim terdapat judul bab yang cukup menarik. Konon, menurut keterangan ulama, kumpulan hadis dalam kitab Shahih Muslim diberi judul oleh Imam Nawawi (w. 676 H.) selaku syarih alias pemberi komentar kitab tersebut.

Terpampang jelas dalam salah satu bab, terdapat judul al-Jam’u bainas Shalatain fil Hadlar (Bab Menjamak Dua Shalat di Rumah (bukan dalam perjalanan)). Bab tersebut memuat sepuluh hadis.

Menjamak Shalat Tidak dalam Perjalanan, Termasuk Bagi Pengantin

Tiga dari sepuluh hadis tersebut diriwayatkan dari Ibnu Abbas, kurang lebih maknanya sama: menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. mengumpulkan dua waktu shalat dalam satu waktu padahal Rasul tidak sedang menempuh perjalanan jauh atau dalam keadaan genting. Hadis tersebut lengkapnya :

جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ: قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ

Rasulullah SAW. mengumpulkan antara shalat Zuhur dan Ashar dan antara shalat Magrib dan Isya di Madinah tanpa (alasan) takut dan hujan. Dalam hadis riwayat Waki’, ia berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, mengapa Rasul melakukan demikian?” Ibnu Abbas menjawab: “Agar Rasulullah tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)

Imam Nawawi memberi komentar atas hadis ini :

وذهب جماعة من الأئمة الى جواز الجمع فى الحاضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وهو قول ابن سيرين وأشهب من أصحاب مالك وحكاه الخطابي عن القفال والشاشى الكبير من أصحاب الشافعى عن أبى إسحاق المروزى عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره ابن المنذر،  ويؤيده ظاهر قول ابن عباس: “أراد ألا يحرج أمته”، فلم يعلله بمرض ولا غيره، والله أعلم.

“Beberapa Imam Madzhab berpendapat mengenai kebolehan menjamak shalat di rumah (tidak dalam perjalanan) karena ada kebutuhan khusus, kebolehan ini dengan catatan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini merupakan pendapat Imam Ibnu Sirin dan sebagian pengikut Imam Malik.

Pendapat ini juga dihikayatkan oleh Imam Khathabi dari Imam Qafal, juga dihikayatkan Imam as-Syasyi dari beberapa pengikut Imam as-Syafi’i dari Abu Ishaq al-Marwazi dari beberapa ahli hadis. Keterangan ini juga yang dipilih oleh Ibnu Mundzir.

Penjelasan ini diperkuat oleh pernyataan Ibnu Abbas: ‘(Nabi menjamak shalat tidak dalam perjalanan) agar tidak menyulitkan umatnya’. Sebabnya, alasan menjamak shalat dalam hadis ini bukan karena sakit atau selainnya.”

Kesimpulan Menjamak Shalat Bagi Pengantin

Dari keterangan hadis Nabi SAW. serta penjelasan Imam Nawawi (w. 676 H.) di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ada pendapat bagi orang yang terdesak kebutuhan atau kesibukan khusus, boleh hukumnya menjamak shalat, selama tidak dijadikan sebagai kebiasaan.

Menurut penulis contoh paling representatif, paling cocok, paling menggambarkan situasi yang diterangkan oleh para ulama di atas adalah menjamak shalat pengantin perempuan di Indonesia. Oleh karenanya, jika mengacu pada pendapat di atas boleh-boleh saja bagi pengantin perempuan yang merasakan masyaqqah (kesulitan) ketika berlangsungnya resepsi mengumpulkan dua waktu shalat dalam satu waktu. (AN)

Wallahu A’lam.