Perbincangan tentang perda syariah akhir-akhir ini cukup ramai di permukaan. Berbagai pihak baik yang pro dan kontra mengungkapkan segala hujjahnya dalam menerima dan menolak penerapan perda syariah di bumi nusantara ini.
Pihak yang pro dengan penerapan perda syariah umumnya berpandangan bahwa sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah selayaknya di berbagai daerah di Indonesia diterapkan perda-perda yang bernuansa islami, sehingga identitas Indonesia sebagai penganut agama Islam terbesar di dunia dapat juga di imbangi dengan kesalehan para penduduknya karena terikat dengan sistem yang islami.
Sedangkan dalil kewajiban menerapkan perda syariah, biasanya menyitir ayat:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa tidak memutuskan hukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah, Ayat 44)
Sedangkan pihak yang kontra dengan penerapan perda syariah lebih memandang bahwa penerapan perda syariah di daerah-daerah di Indonesia adalah keputusan yang kurang bijak, menimbang bahwa Indonesia merupakan negara yang berbangsa dan tidak hanya dihuni oleh penduduk yang agamanya Islam saja, sehingga menerapkan perda syariah adalah bentuk deskriminasi pada kaum minoritas yang dalam hal ini adalah penduduk yang non-muslim.
Lalu akhirnya muncul pertanyaan, bagaimanakah Islam memandang penerapan perda syariah?
Menerapkan perda syariah berarti menerapkan hukum yang bernuansa keislaman dalam suatu daerah. Agama Islam sendiri sebenarnya tidak mengatur secara spesifik tentang bagaimana daerah dipandang sebagai daerah yang ideal dan islami, apakah harus menerapkan syariat islam atau tidak.
Islam hanya menjelaskan nilai-nilai universal yang baik untuk dilaksanakan dalam pemerintahan, seperti nilai keadilan, musyawarah, kesetaraan hak dan lain-lain. Hanya saja, menerapkan perda syariah ini menjadi sebuah kewajiban jika penduduk daerah setempat tidak dapat menjalankan ibadahnya kecuali jika pemerintah menerapkan perda syariah di daerah tersebut, atau penduduk akan semakin terbantu dalam menjalankan ibadahnya jika perda syariah ini diterapkan. Hal ini sesuai dengan kaidah:
ما لا يتمّ الواجب الّا به فهو واجب
“Sesuatu yang menjadi penentu terlaksananya kewajiban maka melakukan hal tersebut adalah wajib.”
Namun hal yang dipertimbangkan dalam menerapkan perda syariah ini tidak hanya dari aspek kemaslahatannya saja, tapi juga menimbang mudarat yang terjadi jika perda syariah tersebut diterapkan.
Jika seandainya dalam menerapkan perda syariah akan timbul mudarat yang lebih besar daripada maslahah maka sebaiknya perda syariah tersebut tidak diterapkan, sebab seorang pemimpin haruslah bijak dalam menilai “tuntutan langit” dan “kemampuan bumi”.
Seandainya akan terdapat mudarat dalam menerapkan perda syariat ini maka hukum menerapkannya menjadi tidak dianjurkan, bahkan harus dihindari.
Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadisnya:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku mencegah kalian terhadap sesuatu maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian maka lakukanlah semampunya.” (HR. Bukhari)
Dalam hadis diatas, peran kemampuan seseorang dalam menjalankan syariat memiliki arti yang begitu penting, sehingga baiknya dalam menerapkan kebijakan perda syariah terlebih dahulu melihat keadaan daerah secara mendalam, layak-kah daerah tersebut diterapkan perda syariah, atau justru akan mengakibatkan kegaduhan dan memunculkan berbagai problematika yang lain?
Dalam fikih misalnya kita temukan bagaimana hukum potong tangan tidak diterapkan bagi orang yang mencuri makanan pada saat masa paceklik dan krisis, sedangkan harga makanan menjadi mahal dan ia tidak mampu untuk membelinya, maka pemerintah tidak wajib menerapkan hukum potong tangan padanya, meski sebenarnya memotong tangan seseorang yang telah melakukan tindakan pencurian adalah hal yang wajib untuk dilakukan secara syariat.
Hal ini seperti yang terdapat dalam Kifayah al-Akhyar:
سرق شخص طعاما في وقت القحط والمجاعة فإن كان يوجد عزيزا بثمن غال قطع وإن كان لا يوجد ولا يقدر عليه فلا قطع وعلى هذا يحمل ما جاء عن عمر رضي الله عنه لا قطع في عام المجاعة
“Apabila seseorang mencuri makanan di waktu paceklik dan masa krisis, maka diperinci. Apabila pelaku adalah orang yang mampu, namun ia enggan membeli makanan dengan harga yang mahal maka ia terkena hukuman potong tangan, dan apabila pelaku orang yang tidak mampu maka ia tidak terkena hukum potong tangan. Pada konteks demikian, dapat dipahami perkataan sahabat Umar RA: “Tidak ada hukum potong tangan pada masa krisis” (Syekh Taqiyuddin al-Hisni, Kifayah al-Akhyar, Juz 2, Hal. 146)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menerapkan perda syariah tanpa mempertimbangkan keadaan masyarakat di daerah setempat adalah perbuatan yang kurang bijak.
Wallahu a’lam.