Ibadah puasa sunnah berbeda dengan puasa wajib. Puasa sunnah lebih banyak godaannya, karena puasa sunnah dilakukan saat tidak semua orang melakukan puasa. Salah satu cobaan bagi orang yang berpuasa sunnah adalah ketika dihidangkan makanan, apalagi saat tuan rumah sudah repot-repot menyiapkan, karena tidak tahu kalau kita sedang berpuasa. Membatalkan puasa sunnah
Dalam keadaan demikian, apa yang harus kita dilakukan? Memilih membatalkan puasa karena ingin menghormati orang yang sudah repot-repot menyediakan makanan ataukah tetap melanjutkan puasa, mengingat ini sebuah ibadah?
Mengenai hal ini, di-tafshil (diperinci) sebagai berikut:
Pertama, sekiranya menyinggung perasaan orang yang menghidangkan makanan, maka lebih baik membatalkan puasanya dan puasanya dianjurkan untuk diqadha’ di lain hari.
Karena kalau seperti gambaran di atas, termasuk udzur yang yang dibenahi syariat. Sebagaimana keterangan dalam Mughnil Muhtaj juz 1 hlm. 255
فإن كان هناك عذر كمساعدة ضيف في الأكل اذا عز عليه امتناع مضيفه منه اوعكسه فلا يكره الخروج منه بل يستحب
Jika ada udzur, seperti menemani tamu makan jika ia enggan makan saat tuan rumahnya tidak makan atau sebaliknya, maka tidak makruh bahkan dianjurkan membatalkan puasa.
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menjelaskan – sebagaimana dinukil oleh Sayyid Bakri Syatha’ dalam I’anatut Thalibin juz 2 hlm. 417 – agar ketika membatalkan puasanya berniat untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) orang yang memberikan hidangan.
قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه
Imam Ghazali telah berkata: disunnahkan berniat untuk untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa.
Pendapat-pendapat di atas disandarkan pada hadis tentang kisah Ummu Hani’ berikut
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فدعى بشراب فشرب ثم ناولها فشربت فقالت يا رسول الله أما إني كنت صائمة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم الصائم المتطوع أمين نفسه إن شاء صام وإن شاء فطر
Rasulullah SAW datang ke rumah Umu Hani’, kemudian nabi diundang untuk jamuan minuman, maka Nabi meminumnya. Kemudian Nabi menawarkan minuman kepadanya (Umu Hani’) dan ia berkenan untuk meminumnya. Selanjutnya, ia berkata kepada Nabi, “Yaa Rasulullah sesungguhnya saya orang yang berpuasa”. Maka Rasulullah SAW menjawab, “Orang yang puasa sunah itu mempercayakan dirinya. Jika berkehendak puasa maka berpuasalah dan jika berkehendak membatalkan maka batalkanlah. (HR. Tirmidzi)
Kedua, sekiranya tidak menyinggung perasaan orang yang menghidangkan makanan, maka yang lebih utama adalah melanjutkan puasanya.
فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الفطر بل الإمساك أولى
Jika tidak menyebabkan tersinggung pemilik makanan maka disunnahkan tidak membatalkannya bahkan lebih utama menahan tetap berpuasa).(I’anatut Thalibin juz 2 hlm. 417 )
Ketika memilih tidak membatalkan puasa sunnah disertai dengan penjelasan yang lembut dan santun, maka saat itu ia dianjurkan untuk mendoakan kebaikan bagi orang yang menghidangkan makanan.
إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Jika salah seorang di antara kalian diundang makan, maka penuhilah undangan tersebut. Jika dalam keadaan berpuasa, maka do’akanlah orang yang mengundangmu. Jika dalam keadaan tidak berpuasa, santaplah makanannya.” (HR. Muslim)
Demikian, jika saat berpuasa sunnah dihidangkan makanan, maka boleh melanjutkan puasanya, boleh tidak. Sedangkan mana yang lebih utama tentunya dengan memperhatikan situasi dan kondisi psikologis orang yang memberikan hidangan makan. Kalaupun pun memilih membatalkan, ia pun tetap dapat pahala dari puasanya dan juga dianjurkan untuk menggantinya di lain hari. (AN)
Wallahu a’lam bisshawab.