Dalam sejarah, cacian atau upaya melecehkan yang dilayangkan terhadap Nabi bukanlah hal yang baru. Hal itu sudah terjadi sejak Nabi masih hidup. Oleh karena itu, para ulama sejak dulu sudah banyak yang merespons persoalan ini di dalam kitab-kitab fikih. Bahkan sebagian ulama malah menulis karya secara khusus untuk merespons persoalan yang terus berulang ini.
Sekadar untuk menyebut contoh: Ibn Taimiyyah menulis kitab berjudul As-Sharim al-Maslul ‘Ala Syathim Ar-Rasul (terjemah bebasnya: pedang terhunus untuk pencaci Nabi). Sebagaimana tercermin dari judulnya, kitab ini ditulis khusus untuk menjelaskan hukuman bagi pencaci atau yang melecehka Baginda Nabi Muhammad SAW (bahkan konon karya ini sudah terbit versi bahasa Indonesianya). Kemudian, dengan judul yang agak mirip, Imam Taqiyyuddin As-Subki menulis kitab berjudul As-Saif al-Maslul ‘Ala Man Sabbi Ar-Rasul. Lalu Syekh Muhammad Hasyim As-Sindi juga menulis kitab yang judulnya juga hampir mirip: As-Saif Al-Jaliy ‘Ala Sabin-Nabiy.
Mayoritas karya-karya tersebut disusun di masa di mana konsep negara-bangsa belum terwujud seperti sekarang ini. Bagaimana dengan kitab-kitab fikih yang ditulis belakangan yang juga masih menjelaskan hukuman bagi pencaci Nabi?
Sebagaimana bab-bab fikih yang untuk mengkontekstualisasikannya “ditangguhkan?” seperti perbudakan, dll, penjelasan tentang itu memang tetap ada. Untuk melihat bagaimana cara ulama kita apakah menggunakan dan menerapkan teks-teks fikih secara tekstual dalam kasus ini bisa dilihat di akhir tulisan ini bagaimana Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari merespons masalah ini pada saat penjajahan Belanda.
Penghinaan dan caci maki terhadap Nabi Muhammad yang terus berulang ini pada gilirannya terus menyisakan problematik di kalangan umat Islam sendiri. Bukan saja menjadi “concern” para ulama, melainkan juga mendapatkan respons dari hampir seluruh masyarakat Muslim.
Beberapa hari ini di Twitter saya menyaksikan perdebatan mengenai hukuman bagi pencaci Nabi. Sebagian orang “mengafirmasi” tindak pembunuhan terhadap pelaku yang diduga telah melecehkan dan menghina Nabi. Mereka secara tekstual merujuk kepada pendapat para ulama sebagaimana yang tertuang dalam kitab-kitab fikih yang menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku penghinaan terhadap Nabi. Meskipun sebenarnya, jika ditelaah lebih dalam lagi, akan menyisakan pertanyaan siapa yang berhak melakukan hukuman tersebut. Apakah perseorangan ataukah negara?
Pertanyaannya kemudian, benarkah ulama sepakat menjatuhkan hukuman mati bagi pencaci Nabi? Pertanyaan turunannya adalah apakah kemudian hukuman tersebut berlaku umum: baik pelakunya adalah orang Islam sendiri atau juga berlaku bagi umat non-Muslim sekalipun?
Mu’taz Khatib, asisten Professor di Hammad Khalifah yang mengajar Filsafat Etika, tentunya setelah menelaah kitab-kitab yang berkaitan dengan hal tersebut, dalam sebuah artikelnya berjudul “al-Jadal al-Fiqh Hawla Sabb Ar-Rasul Shallahu ‘Alaihi wasallam, mencoba melakukan perincian jawaban atas pertanyaan tersebut:
- Jika pelakunya seorang Muslim, maka mayoritas ulama sepakat bahwa pelakunya dihukumi kafir dan hukumannya adalah dibunuh. Meskipun kemudian Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Hanbali (w. 458 H) memerincinya lagi. Yakni, jika pelaku menganggap perbuatan mencaci Nabi itu merupakan perbuatan yang dibolehkan maka ia kafir. Sedangkan bila tidak, hanya karena marah misalnya, maka ia hanya dicap sebagai fasik. Yang tentunya, konsekuensi hukumannya tidak sampai ke dalam tahap hukuman mati. Dengan demikian, tidak ada konsensus ulama atas hukuman mati bagi pelaku pelecehan terhadap Nabi.
- Jika pelakunya non-Muslim, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pertama, sebagaimana hukuman bagi seorang Muslim, pelaku non-Muslim yang menghina Nabi juga dijatuhi hukuman mati. Alasannya, hukuman bagi non-Muslim diberlakukan sama sebagaiman hukuman bagi warga Muslim. Ini merupakan pendapat di kalangan Mazhab Maliki, Ulama Madinah, Imam Ahmad, dan kalangan ahli hadis. Kedua, hanya dijatuhi hukuman takzir dari penguasa. Pendapat ini dinyatakan oleh Mazhab Hanafi dan Imam Sufyan Al-Tsauri. Alasannya, karena dosa kesyirikan yang ada pada diri pelaku dianggap lebih besar ketimbang dosa mencaci Nabi.
Dari uraian ini mengindikasikan bahwa pendapat ulama mengenai hukuman bagi pelaku pelecehan Nabi Muhammad SAW tidaklah tunggal. Ada dialektika fikih di dalamnya. Belum lagi persoalan bagaimana cara menetapkan dan memberlakukan hukuman tersebut.
Problem utama memahami dan menerapkan teks-teks fikih yg berkaitan dengan hukuman salah satunya adalah perubahan zaman, yang di dalamnya adalah perubahan konsep negara dimana dalam literatur klasik misalnya dikenal pembagian Dar Islam, Dar al-Kufr, Dar-‘Ahd. Konsep negara yang ada dalam fikih klasik ini kemudian mengalami problematik saat dihadapkan pada situasi sekarang.
Dalam artikel yang sama yang saya kutip di atas, Mu’taz Khatib mengemukakan bahwa gambaran umum dan dinamika pendapat para ulama ihwal para pencaci Nabi Muhammad, terutama pembedaan hukum dari sudut agama yang dianut pelakunya (Islam dan selain Islam) adalah gambaran dunia masa lalu.
Jadi, kejadian yang ada di Prancis beberapa hari yang lalu tersebut, tidak bisa serta merta langsung memberlakukan hukuman sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fikih. Sebab, hukuman yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih klasik tersebut hanya bisa diberlakukan di dalam konsep negara Islam (Dar al-Islam) yang di mana seluruh penduduknya, baik yang beragama Islam dan non-Islam, berada di dalam undang-undang yang sama.
Oleh karena itu, dalam konteks kasus di Prancis, disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut.
Pertanyannya kemudian, bukankah Prancis merupakan negara Sekuler? Bagaimana mungkin pelaku bisa dijerat hukuman atas tindakannya melecehkan Nabi Muhammad? Untuk menjawab pertanyaan ini, masyarakat Muslim Prancis harus belajar kepada Hadratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
baca juga: Hari-hari terakhir Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari
Pada tahun 1940, tepatnya dalam gelaran Muktamar NU ke-15 di Surabaya, dalam khutbah pembuka (iftitah) Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan sejumlah poin penting merespons kondisi dunia yang sedang dilanda perang dunia ke-2. Di sisi lain, beliau juga menyampaikan keprihatinannya terkait penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang terus terjadi. KH. Saifudin Zuhri (2013: 206) menceritakan penggalan isi khutbah iftitah tersebut:
Ujian bagi kita belumlah reda. Kini makin terasa betapa semakin hebatnya usaha musuh-musuh Islam hendak memadamkan cahaya Allah SWT. Berulang-ulang kali melalui media media pers dan mimbar-mimbar dilancarkan serangan penginaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Kami sudah mendesak kepada pemerintah agar menempatkan satu fasal dalam peraturan perundang-undangan tentang hukuman bagi orang-orang dan golongan mana pun datangnya yang menyerang kesucian Islam, serta penghinaan terhadap Nabi Besar Muhammad SAW. Tetapi teriakan kita itu hilang lenyap bagaikan teriakan di padang pasir.
Maka sekarang tidak ada jalan lain, kita langsung memohon kepada Allah SWT. Dzat Yang Maha Pendengar dari Pemohon segenap hamba-Nya!
Bagi saya penggalan khutbah ini memiliki makna yang sangat dalam. Makna yang perlu kita renungi bersama. Makna yang harusnya menjadi contoh bagaimana kita seharusnya menyikapi persoalan (pelecahan/upaya melecehkan terhadap Nabi). Berjuang melalui aturan-aturan legal, kemudian berdoa kepada Allah SWT.