Islam merupakan agama yang menuntun manusia untuk meraih kesejahteraan hidup, baik di alam fisik maupun metafisik. Penciptaan manusia dan pilihan-Nya atas manusia sebagai khalifatullah di muka bumi adalah yang terbaik (ahsan taqwim) sehingga komposisi dunia dapat berputar dan berjalan secara sempurna.
Manusia dalam terminologi Arab disebut insan, yang secara etimologi berasal dari kata anas (adjective: anis/anisah) yang berarti ‘harmoni’, ‘akrab’, atau ‘intim’. Maksudnya, semenjak eksisnya di muka bumi hingga mati, manusia diidealkan untuk selalu menjaga harmonitas kehidupan. Untuk itu, manusia dibekali tingkat intelektualitas dan kecerdasan yang berbeda-beda dalam mencerna, memahami, dan mengaplikasikan tugas dan perannya di muka bumi.
Perbedaan potensi dan kemampuan ini lalu mewujudkan bentuk kerja sama yang sinergis antarindividu sehingga mampu mengelola lingkungannya secara baik.
Modal dasar manusia tersebut di atas bukan berarti sebagai jaminan bagi manusia untuk mampu selalu berbuat yang baik dan positif. Merealisasikan formulasi ideal Islam di atas bukan perkara mudah. Sebab dalam diri manusia ternyata tersimpan potensi konflik, kekerasan dan tindak destruktif yang dapat menggiring manusia untuk berperilaku merugikan orang lain dan lingkungannya.
Oleh karena itu, untuk mengendalikan potensi negatif tersebut, Islam mengajarkan keadilan sebagai sebuah nilai yang harus diwujudkan di muka bumi. Dalam konteks kekinian, keadilan mewujud dalam sistem peradilan dan penegakan supremasi hukum. Allah berfirman, “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil.”
Hukuman mati secara legal formal diakui Islam sebagai bentuk qishash yang berorientasi penegakan keadilan, yaitu mempertahankan hak-hak individu dan memberikan hak-hak tersebut kepada pemiliknya. Allah berfirman, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersebelahan (menyilang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat. Mereka mendapatkan siksaan yang besar.”
Dalam lingkup yang lebih spesifik, eksekusi mati oleh pengadilan bagi seseorang yang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan “kerusakan lingkungan/bumi” merupakan langkah yang dibenarkan Islam.
Lalu, bagaimana jika ia (pihak yang terhukum mati) sebelum dieksekusi tiba-tiba bertobat kepada Allah, bagaimana status tobatnya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita pahami dulu term tobat.
Di beberapa literatur dikatakan bahwa tobat (taubah) bermakna ‘kembali’, maksudnya seseorang yang bertobat berarti ‘kembali dari sesuatu yang dicela oleh syariat Islam menuju sesuatu yang dipujinya’. Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan hadis Rasulullah, “Menyesali kesalahan merupakan bentuk tobat.”
Sedangkan di antara ahli ushul fiqh ada yang memaknai tobat dengan ‘menyesali pelanggaran yang telah dilakukan; meninggalkan secara langsung penyelewengan; dan dengan mantap memutuskan untuk tidak kembali pada maksiat yang sama’.
Tobat seperti inilah yang dimaksud terma taubat nasuha.
Jadi inti dari tobat adalah menyesali kesalahan. Artinya, orang tidak mungkin bertobat dari suatu tindakan yang tetap dilakukan atau yang mungkin ia bermaksud melakukannya. Tobat adalah kesadaran hati atas kelalaiannya. Tobat juga implementasi dari kesadaran hamba yang berada dalam perilaku buruk.
Dalam konteks eksekusi mati pun taubat nasuha masih menemukan relevansinya, meskipun tobat tersebut dilakukan pascavonis hukuman mati dan sebelum eksekusi mati. Kematian seseorang yang dihukum mati karena tuntutan syariat Islam dapat melebur dosa dari kesalahan yang telah menyebabkannya dihukum mati.
Bahkan, beberapa literatur Islam menegaskan bahwa eksekusi mati merupakan tobat itu sendiri. Eksekusi mati secara benar dalam perspektif syariat adalah sikap kepasrahan seseorang secara total kepada Allah.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa salah satu putri sahabat Rasulullah ada yang dihukum mati karena melakukan pelanggaran syara’.
Beberapa saat setelah eksekusi dilakukan, pada malam harinya, sahabat tersebut bermimpi menyaksikan putrinya telah bersama-sama Rasulullah di surga.
Mengingat hukuman mati tergolong berat dan termasuk dalam kategori pelanggaran syariat yang berat, maka proses pembuktian alasannya di peradilan harus hati-hati dan menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Allah berfirman dalam surah al-Isra’ ayat 33, “Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”
Pembunuhan terhadap manusia tanpa alasan syar’i adalah perbuatan zalim. Pengadilan yang telah memutuskan pelakunya dengan hukuman mati sesungguhnya telah memenuhi syarat syar’i dan eksekusi tersebut harus dilakukan kecuali ada pemberian maaf dari pihak korban.
Apakah eksekusi mati tersebut dapat mengantarkannya pada kematian yang khusnul khatimah? Hanya Allah yang Mahatahu kebaikan dari akhir kematian hamba-Nya. Wallahu A’lam bisshawab. []
*Tulisan ini pernah diterbitkan oleh Majalah Syirah edisi 35, diterbitkan kembali atas seizin redaksi