Hukum ganja bukan barang baru dalam sejarah Islam. Baik itu dalam tradisi Sunni, maupun Syiah. Salah satu studi yang cukup lengkap tentang dinamika ganja di kalangan Syiah bisa dilihat dalam artikel berikut Islam and cannabis: Legalisation and religious debate in Iran. Dalam konteks Islam Iran, peranan seorang Imam atau Ayatollah yang punya otoritas agama sekaligus politik sangat menentukan regulasi ganja bagi masyarakat Iran.
Hukum Ganja dalam Al-Quran dan Hadis
Sejauh penelusuran kami, ganja memang tidak disebutkan dalam Al Quran dan Hadis Nabi yang shahih secara litterlijk. Dalam kultur Arab dan kajian fikih, ganja disebut dengan hasyisy (حشيش). Ia tidak diklasifikasikan dengan dukhan atau rokok, juga tidak terklasifikasi dalam khamar.
Kembali ke pernyataan di atas, hasyisy tidak disebutkan dalam Al Quran dan hadis. Jika memang sudah ada sejak lama, apa sebenarnya hukum menggunakan ganja ini? Jika ia diharamkan, apakah ia haram lidzatihi, sebagaimana babi, ataukah ia haram li dlararihi, yaitu barang ini diharamkan sebab potensi bahayanya?
Mengingat bahwa ganja adalah tetumbuhan sebagaimana tumbuhan lainnya, anggapan haram lidzatihi bagi ganja barangkali bisa ditangguhkan. Sehingga untuk menyatakannya sebagai haram lidzatihi, tidak ada dalil qath’i tentangnya. Diskusi tentangnya bisa dinilai masuk ke ranah ijtihadi.
Pendapat yang populer sampai kepada kita, barangkali dari kalangan yang mengharamkan ganja ini, karena ia adalah khamr atau termasuk jenis zat yang menghilangkan kesadaran. Kesimpulan keharaman ganja ini dihasilkan melalui metode qiyas pada khamar.
Hanya saja, bicara urusan khamr dalam fikih ini banyak pertimbangannya. Khamar yang populer dalam bahasan ulama klasik adalah khamar yang diminum. Jelas belum dikenal narkotika jenis obat-obatan halusinogen yang memang produk olahan teknologi farmasi yang lebih mutakhir.
Karena potensinya untuk memabukkan, kalangan yang mengharamkan menggunakan dalil berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ.
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Setiap yang muskir (memabukkan) adalah khamar, dan setiap yang muskir adalah haram.” (HR. Muslim)
Juga hadis berikut:
ما أسكر كثيره فقليله حرام…
Artinya:
“Sesuatu (minuman) yang banyaknya dapat memabukkan, maka sedikitnya pun haram.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Kalangan ulama Hijaz condong pada pendapat di atas. Imam ash-Shan’ani dalam karyanya Subulus Salam yang mensyarahi kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al Asqalani menyatakan juga keharaman ganja (hasyisy).
Namun, kalangan ahlul Iraq seperti pengikut Imam Abu Hanifah mencermati keharaman berdasarkan efeknya. Jika belum menghasilkan sensasi mabuk, maka ia belum haram. Hal ini terjadi pada bahasan konsumsi nabidz (perasan anggur).
Kalangan Hanafiyah memiliki istilah “minuman yang berpotensi memabukkan” (al iskar bil quwwah), serta kondisi mabuk pada takaran minum tertentu (al iskar bil fi’li). Ulama Irak – termasuk kalangan Hanafiyah – berpendapat bahwa nabidz menjadi haram karena al iskar bil fi’li, yaitu karena “cara minumnya” yang kelewat batas. Jika minum cuma sedikit dan tidak mabuk, nabidz dipandang tidak haram.
Berbeda dengan pendapat mazhab Syafii, Maliki maupun Hanbali yang berpendapat bahwa zat berpotensi memabukkan (al iskar bil quwwah), sedikitnya saja sudah diharamkan, karena nabidz adalah bagian dari khamar.
Ali Mustafa Yaqub dalam Kriteria Halal-Haram untuk Obat, Pangan dan Kosmetika Menurut Al Quran dan Hadits, menyitir pendapat Ibnu Taimiyah yang terhitung ketat, bahwa makna khamar adalah seluruh wujud dan sifatnya, sehingga sebab keharaman barang non-cair seperti ganja, opium atau obat-obatan adalah karena ia memabukkan dan najis secara substantif.
Pendapat yang populer di kalangan ulama adalah kata khamar spesifik untuk minuman atau bentuk cair. Zat narkotika dan NAPZA lainnya bukanlah khamar per definisi karena wujudnya padat, sehingga ia tidak najis. Tapi NAPZA haram dikonsumsi dan disalahgunakan karena illat-nya adalah iskar atau memabukkan.
Tapi ulama yang lebih kontemporer, seperti Syekh Wahbah Az Zuhaili, menulis dalam karyanya AL Fiqhul Islami wa Adillatuhu mengenai hasyisy:
الحشيش والأفيون والبنج :يحرم كل ما يزيل العقل من غير الأشربة المائعة كالبنج والحشيشة والأفيون، لما فيها من ضرر محقق، ولا ضرر ولا ضرار في الإسلام، ولكن لا حد فيها؛ لأنها ليست فيها لذة ولاطرب،…. .ويحل القليل النافع من البنج وسائر المخدرات للتداوي ونحوه؛ لأن حرمته ليست لعينه، وإنما لضرره
Artinya:
“Ganja, opium, dan bang (Hyoscyamus, sp.): segala yang menghilangkan akal itu haram, meski tidak diminum seperti daun bang, ganja dan opium, dikarenakan adanya bahaya yang diketahui, dan dalam Islam ada prinsip laa dharara wa laa dhirara – tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh ada unsur membahayakan….. dan ia jadi halal jika bang maupun seluruh zat yang memabukkan tadi digunakan sedikit dan ada manfaatnya untuk pengobatan. Karena, keharaman zat tersebut bukanlah karena ain-nya, tapi karena bahayanya. (Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Hal 105 jilid 7. Darul Fikr – Beirut)
Prinsipnya, menurut Syekh Wahbah, hukum ganja dan opium haram sebab potensi bahayanya jika disalahgunakan, namun dalam pengobatan, ia bisa dihalalkan.
Kita bisa pahami dari sini bahwa ganja masih dalam konteks ijtihadi, dan derajat manfaat maupun madlaratnya harus ditelaah dengan hati-hati demi keamanan dan keselamatan penggunanya. Barangkali, memang ada unsur penyalahgunaan mengingat terbatasnya edukasi tentang ganja, namun terciptanya regulasi yang lebih proporsional dan relevan, serta adanya kultur ilmiah yang sehat, kiranya tidak kalah penting. (AN)