Hukum Bekerja Sama dengan Orang Kafir

Hukum Bekerja Sama dengan Orang Kafir

Hukum Bekerja Sama dengan Orang Kafir

Term kafir dalam konteks sekarang kian memperlihatkan sikap ekslusivitasnya. Belum lagi artinya dipahami secara luas, bahkan kepada orang muslim. Term kafir yang serampangan seperti ini berangkat dari persoalan teologis yang merambah ke ranah sosial sehingga kian mempertajam permusuhan teologis.

Secara teologis, al-Quran menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan bagian dari agama samawi. Ini dibuktikan dengan penyebutan ahlul kitab, mereka yang diberikan al-Kitab. Penyebutan tersebut banyak terdapat dalam al-Quran. Seperti dalam ayat QS. 5:5.

Meski kerap pada awalnya, term kafir sebagai persoalan teologis akan tetapi ia sering digunakan untuk melegitimasi atas persoalan yang lebih luas. Kekafiran yang dipahami oleh para ulama sebagai sebuah upaya mengingkari tuhan, pencipta yang sejak mula artinya sangat sempit, menjadi sangat luas. Problemnya adalah identifikasi kekafiran yang berbasis perbedaan teologis, ikut merembes pada aspek hubungan sosial (min bab al-Mu’malahwa al-Muasyarah).

Di antara pandangan kaum ekstrimis adalah tidak boleh bekerja sama dengan orang kafir, bahkan untuk dalam siyasah. Menurut mereka, orang kafir itu selalu menyudutkan umat Islam dalam persoalan politik (siyasah). Pandangan ini jelas bertolak belakang dengan paradigm politik secara umum.

Dalam aspek politik Islam (Siyasah Islamiyah), tidak ada pembedaan antara orang kafir dengan orang muslim. Pemahaman ini dilandasi oleh prespektif politik bahwa semua pengaturan kehidupan bersama didasarkan kepada keadilandan kesetaraan (al-Musawah wa al-‘Adl).

Tidak boleh bekerja sama dengan orang kafir sering kali berlandaskan kepada ayat

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Ayat QS. 2:120 ini sangat kental dengan aspek perbedaan teologis. Ironisnya, oleh sebagian kelompok ayat ini digunakan untuk menjudge tidak bolehnya bekerja sama dengan orang kafir. Mereka menganggap bahwa orang-orang nasrani dan yahudi merupakan orang kafir. Padahal term kafir jika kita merujuk kepada konteks semua ayat al-Quran bermakna sebagai orang-orang politheis. Yaitu mereka yang menyembah banyak tuhan bersama berhala-berhala yang ada di sekitar ka’bah. Penyebutan orang-orang nasrani dan yahudi justru menggunakan kata “ahli kitab”. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam ayat QS. 5:5.

Karena ayat ini digunakan secara berlebihan, maka kita perlu menjelaskan “ketidakrelaan” terhadap Islam, dengan melihat kepada konteks lahirnya teks ini. Ibnu ‘Asyur salah seorang ulama prolifik Tunisia menjelaskan dalam kitab al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa ayat ini menjelaskan kondisi kaum yahudi dan nasrani pada nabi Muhammad Saw. Mereka hanya mengakui Muhammad, jika nabi Muhammad Saw. mengikuti kitab-kitab mereka. Kalimat “hatta tattabi’a millatahum” merupakan ghoyah dari isyarat keputusasaan orang yahudi dan nasrani pada masa Nabi dalam menerima dakwah Islam saat itu. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis, Dar Tunisiha, II, hlm. 12)

Ketidak pemahaman mengenai konteks ayat di atas, serta merta melarang seseorang untuk bekerja sama dengan orang kafir. Padahal konteks ayat di atas hanya berbicara tentang orang yahudi dan nasrani pada masa Nabi. Dan bukan berbicara tentang orang-orang kafir.

Untuk memahami ayat-ayat yang bertentangan di atas kita perlu merujuk kepada sikap moderat para ulama dalam melihat relasi muslim dan non muslim. Upaya ini cukup penting, mengingat agar kita tidak jatuh kepada sikap eklusivitas agama.

Sikap inlusifitas seorang muslim yang bergaul dengan orang yahudi-nasrani juga oleh sebagian kelompok disalahkan dengan justifikasi istilah “kafir muslim”. Secara terminologis kata ini tidak menemukan makna dan konstitusi teologisnya. Persoalannya, bagaimana bisa seorang muslim yang telah menyembah dan menduakan Allah menjadi kafir? Istilah ini sangat kontradiktif secara defenitif, contradictio in terminis.

Istilah “kafir muslim” merujuk kepada Muhammad bin Abdul Wahab yang berkata bahwa anna adillatal ‘ala kufril muslim idza asyraka billahi aw shara ma’al musyrikin ‘alal muslimin walaw lam yusrik… “dalil tentang kafirnya seorang muslim yaitu ketika ia syirik kepada Allah, atau bersama orang-orang musyrik yang memerangi orang muslim.

Pemahaman ini jelas keliru. Pertama, karena beriman atau kafirnya seseorang adalah persoalan hati dan hanya Allah yang menentukan beriman atau kafirnya. Dan bukan terkait dengan seorang bergaul dengan siapa. Kedua, hal ini bertentangan dengan sikap dan sunnah af’al nabi Muhammad Saw yang bergaul dengan siapa saja.