Dalam islam diatur hubungan antara suami istri, termasuk jika ada perbedaan dalam urusan politik (Pilkada maupun Pilpres). Dalam relasi ini, ketaatan atau kepatuhan seorang istri terhadap suami atau sebaliknya juga setara, karena banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah yang menunjukkan keharusan tersebut agar perempuan itu bisa disebut sebagai istri salehah maupun suami yang shalih.
Syekh Wahbah Az-Zuhayli menunjukkan letak kepatuhan dan ketaatan istri terhadap suaminya sebagaimana keterangan berikut ini:
طاعة الزوجة لزوجها في الاستمتاع والخروج من المنزل
Artinya, “Ketaatan istri terhadap suami terletak pada soal bersedap-sedapan dan soal izin keluar rumah,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz 7, halaman 334).
Ketaatan atau kepatuhan seorang istri diharuskan oleh Islam mengingat kebesaran hak suami atas istrinya. Banyak ulama menggunakan hadits Rasulullah SAW berikut ini sebagai dalil keharusan ketaatan atau kepatuhan seorang istri.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمِشٍ الزِّيَادِىُّ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ: مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْقَطَّانُ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ السُّلَمِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ النَّخَعِىُّ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِىُّ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِىِّ عَنْ قَيْسٍ قَالَ: قَدِمْتُ الْحِيرَةَ فَرَأَيْتُ أَهْلَهَا يَسْجُدُونَ لِمَرْزُبَانٍ لَهُمْ فَقُلْتُ نَحْنُ كُنَّا أَحَقَّ أَنْ نَسْجُدَ لِرَسُولِ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَيْهِ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِى رَأَيْتُ قُلْتُ: نَحْنُ كُنَّا أَحَقَّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ فَقَالَ:«لاَ تَفْعَلُوا أَرَأَيْتَ لَوْ مَرَرْتَ بِقَبْرِى أَكُنْتَ سَاجِدًا؟». قُلْتُ: لاَ. قَالَ:«فَلاَ تَفْعَلُوا فَإِنِّى لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ حَقِّهِمْ عَلَيْهِنَّ
Artinya, “Kami menerima riwayat dari Muhammad bin Muhammad bin Mahmisy Az-Zayadi, dari Abu Bakar, Muhammad bin Husein Al-Qathan, dari Ahmad bin Yusuf As-Sulami, dari Abdurrahman bin Abu Bakar An-Nakha‘i, dari ayahnya, dari Hushain bin Abdurrahman As-Sulami, dari Amir As-Sya‘bi, dari Qais, ia berkata, ‘Aku tiba di desa Hirah. Aku melihat penduduknya bersujud kepada tokoh masyarakat dan pemimpin mereka. aku berkata di dalam hati bahwa kami lebih berhak sujud kepada Rasulullah SAW. Ketika kembali menemui Rasulullah, aku menceritakan fenomena yang kusaksikan dan kukatakan di hadapannya bahwa kami lebih berhak sujud kepadamu wahai Rasulullah SAW.’ ‘Jangan kalian lakukan. Bagaimana pendapatmu bila melalui makamku kelak, apakah kau akan bersujud?’ tanya Rasulullah SAW. ‘Tidak,’ kujawab. ‘Jangan kalian lakukan. Kalau boleh memerintah manusia bersujud kepada sesamanya, niscaya kuperintahkan para wanita itu untuk bersujud kepada suami mereka karena kebesaran hak suami mereka yang dianugerahkan Allah atas diri mereka,” (HR Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan lainnya).
Dengan sejumlah ayat dan hadits itu, ulama menyepakati bahwa ketaatan atau kepatuhan istri terhadap suami adalah kewajiban. Hanya saja kewajiban taat dan patuh itu tidak bersifat mutlak tanpa batas, tetapi muqayyad yang bersifat terbatas sebagaimana keterangan berikut ini:
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ طَاعَةَ الزَّوْجِ وَاجِبَةٌ عَلَى الزَّوْجَةِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى الرِّجَال قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّل اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَهُنَّ مِثْل الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَال عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ، وَاتَّفَقُوا كَذَلِكَ عَلَى أَنَّ وُجُوبَ طَاعَةِ الزَّوْجَةِ زَوْجَهَا مُقَيَّدَةٌ بِأَنْ لاَ تَكُونَ فِي مَعْصِيَةٍ لِلَّهِ تَعَالَى، لأِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل”
Artinya, “Ulama sepakat bahwa ketaatan istri terhadap suami adalah wajib berdasarkan firman Allah SWT, ‘Laki-laki adalah pengayom perempuan karena sejumlah kelebihan yang diberikan Allah kepada sebagian yang lain dan karena sebagian harta yang mereka nafkahkan,’ dan firman Allah SWT, ‘Mereka memliki hak setara dengan kewajiban yang mereka tanggung dengan baik. Sementara kaum laki-laki memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka (perempuan).’ Para ulama juga sepakat bahwa ketaatan istri terhadap suami tidak bersifat mutlak (absolut, tak terbatas), tetapi bersifat muqayyad (terbatas), yaitu sejauh ketaatan itu berupa kedurhakaan terhadap Allah. Pasalnya, sebuah kaidah mengatakan bahwa tiada ketaatan kepada sesama makhluk perihal kedurhakaan kepada Allah sesuai sabda Rasulullah SAW, ‘Tiada ketaatan kepada sesama makhluk perihal kedurhakaan kepada Allah,’” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz 41, halaman 313).
Selain memikul kewajiban muqayyad atau terbatas, seorang istri juga memilik hak yang harus dipenuhi oleh suaminya. Seorang istri memiliki hak yang bersifat ekonomi dan hak non-ekonomi. Hal ini disebutkah oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam keterangan berikut ini:
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
Artinya, “Istri memiliki hak ekonomi, yaitu mahar dan nafkah dan hak non-ekonomi, yaitu perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz 7, halaman 327).
Dari kewajiban muqayyad atau terbatas dan hak non-ekonomi itu, tidak heran kalau NU melalui putusan Munas Alim Ulama pada 16-20 Rajab 1418 H/17-20 Nopember 1997 M di Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, NTB membahas kedudukan wanita dalam Islam.
Para kiai dalam forum Munas NU 1997 ini mengakui perbedaan fungsi laki-laki dan perempuan karena perbedaan kodrati/fitri seperti soal menyusui. Sementara di luar itu, laki-laki dan perempuan memikul tanggung jawab bersama sebagai peran-peran nonkodrati dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana firman Allah SWT:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya, “Dan orang-orang laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar…,” (Surat At-Taubah ayat 71).
Forum Munas NU 1997 M ini memutuskan bahwa Islam telah mengatur hak dan kewajiban wanita dalam hidup berkeluarga yang harus diterima dan dipatuhi oleh masing-masing (suami dan istri). Tetapi ada peran publik wanita.
Sebagai anggota masyarakat dan warga negara, hak bernegara dan berpolitik telah menuntut wanita harus melakukan peran sosialnya yang lebih tegas, transparan, dan terlindungi. Dalam konteks peran publik menurut prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran itu dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik tersebut.
Kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan.
Pada Muktamar Ke-30 NU di Pesantren Lirboyo Kabupaten Kediri pada 1999 M, para kiai NU menegaskan kesetaraan peran publik (salah satunya bidang politik) laki-laki dan perempuan. Mereka menolak diskriminasi peran politik perempuan yang menempatkan pihak perempuan sebagai obyek dari sistem politik yang dibangun secara sepihak oleh kaum laki-laki. Para kiai juga menolak sikap pasif perempuan terkait partisipasi publik.
Lalu bagaimana sikap politik perempuan dalam pilkada serentak 2018 yang dilakukan di 171 daerah, yaitu 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten di seluruh Indonesia pada akhir Juni ini?
Kami menyarankan para istri untuk menggunakan hak pilihnya secara sadar dan merdeka meskipun berbeda pandangan politik dengan suaminya. Para perempuan dapat memilih secara politik sesuai dengan pandangan pribadinya tanpa perlu khawatir dianggap sebagai istri durhaka.
Perbedaan pilihan politik istri dan suami tidak mengeluarkan istri dari kepatuhan dan ketaatan yang diperintahkan agama. Dengan kata lain, perbedaan pilihan politik tidak menodai citra seorang perempuan sebagai istri salehah.
Mengacu pada putusan Muktamar NU 1999 M dan Munas NU 1997 M perihal kedudukan dan peran publik perempuan, kami menyarankan suami dan istri untuk saling menghormati satu sama lain perihal perbedaan pilihan dan pandangan politik. Kami juga menyarankan keduanya untuk tidak saling mengintimidasi perihal pilihan politik baik dengan dalil agama maupun atas nama lainnya.
*Selengkapnya terkait hukum ini, klik di sini