Walimatul urs atau resepsi pernikahan merupakan hal yang dianjurkan oleh syara’ bagi pasangan suami istri yang telah melakukan akad nikah. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapun tujuan diadakannya walimah sendiri yaitu untuk mengumumkan pernikahan kepada khalayak, bersyukur atas nikmat pernikahan, dan berbagi kebahagiaan kepada para tamu undangan. Lebih dari itu, tujuan lainnya adalah untuk menguatkan kepekaan sosial dan ukhuwah islamiyah di masyarakat.
Mengapa walimah dikatakan sebagai salah satu sarana untuk menguatkan kepekaan sosial dan ukhuwah islamiyah? Karena hal itu tercermin dalam beberapa literatur hadis. Diceritakan bahwasanya Rasulullah SAW beserta para sahabat saling bergotong royong untuk membantu shahibul walimah (orang yang mengadakan walimah).
Di antaranya terdapat dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik ra. Hadis tersebut menceritakan tentang kisah Perang Khaibar yang di dalamnya terdapat pernikahan Rasulullah dengan Shafiyah binti Huyay. Kemudian Nabi SAW mengadakan walimah dan memerintahkan para sahabat untuk membawa makanan apapun yang mereka miliki, baik itu kurma, keju, minyak samin, dan lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ شَيْءٌ فَلْيَجِئْ بِهِ
“Siapa saja dari kalian yang memiliki sesuatu hendaklah ia bawa kemari.”
Kemudian para sahabat berdatangan dengan membawa apa yang mereka miliki. Anas bercerita:
وَبَسَطَ نِطَعًا قَالَ فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَجِيءُ بِالْأَقِطِ وَجَعَلَ الرَّجُلُ يَجِيءُ بِالتَّمْرِ وَجَعَلَ الرَّجُلُ يَجِيءُ بِالسَّمْنِ فَحَاسُوا حَيْسًا فَكَانَتْ وَلِيمَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kemudian beliau membentangkan tikar dari kulit, maka ada orang yang membawa susu kering/keju, ada yang membawa kurma dan ada pula yang membawa minyak samin, kemudian mereka mencampurnya, itulah jamuan walimah pernikahan Rasulullah SAW.” (HR. Muslim)
Imam Al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, bahwa hadis ini menjadi dalil anjuran bagi para teman atau tetangga pengantin untuk membantunya dalam menyelenggarakan walimah. Dalam konteks ini, bantuan yang diberikan berupa sumbangan makanan yang mereka miliki.
Hal serupa juga terjadi pada pernikahan Ali bin Abi Thalib ra. dengan Fatimah binti Rasulullah SAW. Imam ath-Thabarani meriwayatkan dari sahabat Buraidah al-Aslami ra. tentang pernikahan Ali dan Fatimah. Ia berkata:
فلما كان بعد ذلك بعدما زوجه قال: “يا علي، إنه لا بد للعرس من وليمة”. قال سعد: عندي كبش، وجمع له رهط من الأنصار آصعا من ذرة
“Setelah Nabi menikahkan Ali, beliau bersabda: ‘Wahai Ali, dalam pernikahan dianjurkan ada resepsi’. Sa’ad berkata: ‘Saya punya kambing’. Dan ia mengumpulkan dari para sahabat Anshor beberapa karung biji jagung”. (HR. Ath-Thabarani)
Imam al-Haitsami (w. 807 H) dalam kitabnya Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid mengomentari hadis ini. Beliau mengatakan bahwa para perawi dalam riwayat ath-Thabarani ini semuanya perawi hadis-hadis shahih (tsiqat) kecuali Abdul Karim bin Sulaith, namun Ibnu Hibban men-tsiqah-kannya. Imam Ibnu Hajar (w. 852 H) mengatakan dalam kitabnya at-Taqrib bahwa Abdul Karim bin Sulaith maqbul (diterima riyawatnya). Maka dari itu, hadis ini dihukumi shahih atau setidaknya hasan, dan dapat dijadikan hujjah (argumen).
Dua hadis di atas menjadi bukti bahwa walimah di masa Nabi menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kepekaan sosial, rasa kekeluargaan dan ukhuwah islamiyah. Karena walimah, mereka berkumpul dan bersilaturrahmi di satu tempat. Hal ini agaknya juga tampak pada fenomena-fenomena resepsi pernikahan di masa sekarang. Para tetangga, teman, dan kerabat biasanya berbondong-bondong untuk membantu keluarga pengantin, bagi dari segi materil maupun non-materil. Wallahu a’lam.