Hukum dan Tata Cara Menyelenggarakan Resepsi Pernikahan

Hukum dan Tata Cara Menyelenggarakan Resepsi Pernikahan

Bagaimana aturan dan tata cara menyelenggarakan resepsi pernikahan?

Hukum dan Tata Cara Menyelenggarakan Resepsi Pernikahan
kafa’ah

Menyelenggarakan resepsi pernikahan (walmatu al-‘Ursy) adalah anjuran, bahkan diperintahkan oleh ajaran Islam. Hanya saja, apakah ia hukumnya wajib atau sunnah, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Adapun penyelenggaraan resepsi atau walimatu al-‘ursy ini, disunnahkan (dianjurkan) hendaknya diselenggarakan setelah akad nikah dan kedua mempelai sudah melakukan hubungan seksual.

Tentang bentuk walimatu al-‘ursy ini, sudah dianggap telah memenuhi anjuran Islam (memenuhi tuntunan dan tata cara ibadah) ketika telah diselenggarakan, walaupun hanya dengan bentuk yang sederhana, juga tidak boleh dengan cara berlebihan atau cara yang berkesan menonjolkan kesombongan.

Walimatu al-‘Ursy yang paling sederhana adalah diselenggarakan dengan ukuran menyembelih seekor kambing, hal ini berdasarkan hadis sahih riwayat al-Bukhari, dari sahabat Anas RA, beliau berkata:

Nabi SAW tidak pernah menyelenggarakan resepsi pernikahan (walimatu al-‘ursy) dari isteri-isterinya melebihi resepsi pernikahan yang telah beliau selenggarakan atas pernikahan dengan Zainab; yaitu mengadakan walimah dengan menyembelih seekor kambing.” (al-Hadis)

Ada sebuah hadis lain juga dari sahabat Anas RA. sebagai berikut:

Bahwa Abdurrahman bin Auf RA. datang menghadap Rasulullah SAW, ketika itu ditubuhnya terdapat bekas-bekas warna kuning. Lalu Nabi SAW bertanya kepadanya. Maka ia pun memberitahu bahwa dirinya telah menikahi seorang perempuan dari sahabat Anshor.”

Nabi SAW bertanya, “Berapakah kau memberi mas kawin kepada perempuan itu?”

Abdurrahman bin Auf berkata, “Emas seberat sebuah biji kurma.”

Rasulullah SAW bersabda, “Adakanlah pesta perkawinan (walimatu al-‘ursy) dengan menyembelih walaupun seekor kambing, maka jika tidak mampu menyembelih seeokr kambing, bikinlah pesta dengan dua mud (sekitar 6 kg) makanan gandum.” (al-Hadis).

Bahwa ukuran dua mud tersebut merupakan ukuran paling sederhana dalam menyelenggrakana pesta perkawinan yang pernah diadakan oleh Nabi SAW dalam pesta perkawinannya dengan sebagian isteri-isterinya.

Di dalam kitab Sahih Bukhari, juga ada sebuah hadis riwayat Shaiyah binti Syainah, ia berkata:

Nabi S.A.W. menyelenggarakan pesta perkawinan dalam merayakan pernikahan dengan sebagian isteri-isterinya, dengan memasak makanan gandum dua mud (6 kg). Nabi SAW juga pernah mengadakan pesta perkawinannya dengan Siti Shafiyyah binti Huyayyin, cukup dengan hidangan bubur, samin, kurma, dan susu kental.”

Di dalam kitab Shahih al-Bukhari, juga disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Anas RA.

Anas berkata, “Nabi SAW menetap selama tiga hari di suatu tempat yang terletak antara Khaibar dan Madinah, untuk menikah dengan Shafiyyah binti Huyay. Maka kami lalu mengundang orang-orang Islam datang ke pesta perkawinan Nabi SAW. Ternyata tidak ada hidangan roti maupun daging, Nabi SAW memerintahkan untuk menggelar tikar dari kulit. Lalu Nabi SAW menghidangkan hidangan berupa kurma, susu kental, dan bubur samin di atas tikar tersbut, maka jadilah hidangan tersebut sebagai hidangan pesta perkawinan. Orang-orang Islam memperbincangkan hal itu. “Adakah si pengantein putri itu termasuk salah satu ibu bagi kaum muslimin, atau sebagai perempuan Amat milik Rasulullah?” Para sahabat Rasulullah lalu ada yang berkata, “Jika Nabi SAW memberi kain penutup (hijab) buat Shafiyyah, maka ia berarti termasuk ibu-ibu kaum muslimin (ummul mukminin). Dan jika Nabi SAW tidak memberinya kain penutup, maka ia itu termasuk amat (budak perempuan) milik Rasulullah.”

Ternyata, ketika Nabi SAW sudah hendak pulang ke Madinah, dibikinlah tempat duduk di belakang tempat duduk Nabi dan kain penutup pun kemudian dipanjangkan (untuk menutupi) antara Shafiyyah dan kaum Muslimin.” (al-Hadis).

Termasuk hal-hal yang perlu diupayakan dalam mengadakan pesta perkawinan itu hendaklah diadakan dengan niat mengikuti ajaran Rasulullah SAW, berusaha menghibur dan memuaskan hati teman-temannya yang diundang pesta, juga hendaknya diusahakan mengundang orang-orang yang baik-baik bukan yang jahat perangainya.

Ada sebuah hadis berkenaan dengan larangan mendatangi undangan dari orang-orang fasik (ahli maksiat), yaitu riwayat dari Imran bin Husain, bahwa sesungguhnya ia berkata:

“Aku dilarang Rasulullah S.A.W. memenuhi undangan pesta dari orang-orang fasik.”

Bagi orang yang mengadakan pesta perkawinan tersebut, juga dianjurkan hendaknya jangan sampai mengesampingkan sanak famili dan teman-temannya, karena sebenarnya memberi perhatian khusus (mengistimewakan) sebagian undangan (dengan mengesampingkan yang lian) itu bisa membuat resah (kecewa) bagi undangan yang lainnya.

Wallahu A’lam.

Disarikan dari kitab Quratu al-‘Uyun.