Ungkapan “Hubbul Wathan Minal Iman”, yang sering diartikan sebagai “Cinta tanah air bagian dari iman,” telah menjadi simbol semangat nasionalisme di berbagai kalangan. Namun, jika ditelusuri dari segi keilmuan hadis, pernyataan ini tidak ditemukan sebagai salah satu sabda Rasulullah SAW.
Hal ini disebutkan oleh para ulama seperti Imam as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah, yang dengan tegas menyatakan bahwa ungkapan tersebut bukanlah hadis. Pendapat ini juga disepakati oleh ulama lainnya, termasuk al-‘Ajluni dalam Kasyf al-Khafa dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahādits al-Mawdhu’ah.
Lebih lanjut, Mula al-Qari dalam al-Asrār al-Marfu’ah mengulas pendapat beberapa ulama yang mencoba menjelaskan asal-usul redaksi ini. Ada yang menyebut bahwa ungkapan tersebut berasal dari Nabi Isa AS, ada pula yang mengaitkannya dengan perkataan sebagian ulama salaf. Namun, meskipun perdebatan ini telah lama berlangsung, tidak sedikit yang tidak memberikan pendapat tegas mengenai otentisitas ungkapan tersebut.
Meski bukan berasal dari Rasulullah SAW, makna ungkapan ini tetap diakui. Ada kemungkinan bahwa kecintaan kepada tanah kelahiran sudah lama menjadi bagian dari budaya keimanan. Hal ini masuk akal, karena kecintaan terhadap tanah air tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Bahkan, dari sisi ajaran agama, terdapat hadis-hadis yang mengisyaratkan cinta seorang mukmin kepada tanah airnya.
Sebagai contoh, sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibn Abi Hatim menyebutkan bahwa ketika Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah dan sampai di al-Juhfah, beliau merindukan kota kelahirannya, Mekkah.
“وَاللهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَى اللهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ.”
Artinya: “Demi Allah, engkau (Mekkah) adalah sebaik-baiknya bumi Allah, dan bumi yang paling dicintai oleh Allah. Seandainya aku tidak diusir darimu, aku tidak akan pernah keluar (meninggalkanmu).” (H.R an-Nasai)
Kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya:
اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍۗ
“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Nabi Muhammad untuk menyampaikan dan berpegang teguh pada) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali(yaitu Mekkah).” (QS. al-Qashash: 85).
Riwayat ini dikuatkan oleh banyak mufassir al-Qur’an, seperti al-Thabathaba’i, Ibn ‘Asyur, dan Sayyid Quthub, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.
“Hubbul Wathan Minal Iman” adalah Bagian dari Semangat Juang Rakyat Indonesia
Meskipun secara teknis “Hubbul Wathan Minal Iman” bukan hadis, makna dari ungkapan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk memakmurkan bumi, menegakkan keadilan, dan menjaga kehidupan yang sejahtera di atas muka bumi. Maka, kecintaan terhadap tanah air, termasuk usaha menjaga dan memelihara kesejahteraan bangsa, adalah bagian dari wujud syukur atas nikmat Allah.
Dalam konteks sejarah Indonesia, ungkapan ini digunakan oleh para tokoh bangsa sebagai sarana untuk membangkitkan semangat juang rakyat dalam melawan penjajahan. Penggunaan ungkapan ini sebagai motivasi tidak hanya berdampak pada semangat nasionalisme, tetapi juga menyelaraskannya dengan nilai-nilai keagamaan. Kita bisa meneladani semangat para ulama dan tokoh bangsa dalam memaknai kecintaan kepada tanah air, bukan hanya dalam konteks fisik, tetapi juga dalam konteks spiritual.
Mula al-Qari, dalam salah satu penjelasannya, menambahkan bahwa al-wathan (tanah air) tidak hanya merujuk pada tanah kelahiran di dunia, tetapi juga pada kampung halaman akhirat. Dalam hal ini, setiap orang beriman semestinya merindukan “tanah air” akhirat, sebagai tempat kembali setelah kehidupan dunia berakhir.
Pada akhirnya, perdebatan mengenai apakah “Hubbul Wathan Minal Iman” merupakan hadis atau bukan, tidaklah menjadi masalah utama. Ungkapan ini tetap dapat dimaknai sesuai dengan semangat ajaran Islam yang mengajarkan kecintaan terhadap tanah air dan usaha untuk memakmurkan bumi. Seperti yang diungkapkan oleh al-‘Amiri, seorang ulama hadis, dalam menjelaskan makna dari kecintaan terhadap tanah kelahiran:
“Jika engkau ingin mengetahui cara pandang seseorang, maka lihatlah bagaimana ia merindukan tanah kelahirannya, kecintaannya kepada handai taulannya, dan tangisannya terhadap apa yang telah dilakukannya pada masa lalu.”
Dengan demikian, meskipun ungkapan ini tidak tergolong hadis, maknanya tetap relevan dan menginspirasi, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam menjaga semangat kebangsaan.
(AN)