Honour Killing di Pakistan: Jebakan untuk Kaum Perempuan di Tengah Budaya Patriarkhis

Honour Killing di Pakistan: Jebakan untuk Kaum Perempuan di Tengah Budaya Patriarkhis

Salah satu budaya Pakistan yang selalu mendapat sorotan adalah honour killing atau pembunuhan atas nama kehormatan, yang mayoritas korbannya perempuan.

Honour Killing di Pakistan: Jebakan untuk Kaum Perempuan di Tengah Budaya Patriarkhis

Pakistan adalah salah satu negara di Asia Selatan, dengan nama resmi Republik Islam Pakistan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan World Population Review pada tahun 2024, Pakistan dinobatkan sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia menggeser Indonesia, dengan jumlah 240,8 juta jiwa [Viva]. Dengan populasi Muslim yang besar, Pakistan masih dikenal dengan masyarakatnya yang sangat konservatif, terutama hal-hal yang bersinggungan dengan perempuan.

Salah satu budaya Pakistan yang selalu mendapat sorotan adalah honour killing atau pembunuhan atas nama kehormatan, yang mayoritas korbannya perempuan. Praktek ini dilakukan keluarga terhadap anggota yang dianggap memalukan atau melanggar norma masyarakat dan agama. Di Pakistan, istilah honour killing dikenal dengan beberapa istilah, seperti kala-kali (Punjab), karo-kari(Sindh), tor-tora (Khyber Pakhtunkhwa) dan siyakari (Balochistan) [Sadiq Bhanbhro, Karo Kari-The Murder of Honour in Sindh Pakistan: An Ethnographic Study, International Journal of Asian Social Science, 3(7), 2013, hal. 1468.]. Human Rights Commission memperkirakan bahwa sekitar 1.000 perempuan dibunuh atas nama kehormatan setiap tahunnya.

Kasus honour killing yang menarik perhatian adalah pembunuhan seorang penyanyi dan sosialita, bernama Qandeel Baloch pada 2016. Berita kematiannya menyebar secara global, memicu debat nasional dan internasional. Qandeel, yang bernama asli Fouzia Azeem, dibunuh oleh adiknya, Waseem Azeem, di Multan karena sering menampilkan aurat di media sosial. Waseem mengklaim tindakan tersebut demi menjaga nama baik keluarga. Peristiwa ini memicu kemarahan dunia, dan organisasi Global Citizens meluncurkan kampanye #LeveltheLaw, dengan petisi ditandatangani lebih dari 31.000 orang, menuntut pemerintah Pakistan mengubah undang-undang untuk melindungi perempuan dari honour killing. 

Padahal negara tersebut telah meratifikasi Convention on The Elimination of Discrimination Against Women yang bertujuan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia pada tahun 1996. Untuk memperkuat pemberian hak-hak terhadap perempuan, Pakistan juga mendirikan National Commission on the Status of Women dengan tujuan untuk merekomendasikan kebijakan yang pro-perempuan dan mengawasi Pakistan Penal Code yang telah diamandemen pada tahun 2004. Pakistan Penal Code sendiri merupakan undang-undang yang dirancang dengan tujuan untuk melindungi serta menjamin hak-hak perempuan dari berbagai macam kekerasan yang berlandaskan pada kehormatan.

Meski sudah berulang kali terjadi, kasus honour killing tetap menjadi isu serius yang mengundang perhatian hukum dan kemarahan masyarakat luas. Padahal pemerintah Pakistan telah berusaha untuk mengambil langkah hukum dengan menerapkan amandemen legislatif untuk menanggulangi fenomena ini, dan upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang signifikan. Kasus terbaru adalah pembunuhan tragis terhadap seorang perempuan muda berusia 22 tahun di Mardan, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa.

Perempuan yang berprofesi sebagai guru sekolah ini dibunuh dengan cara yang sangat kejam pada tanggal 8 Juni 2024. Penyebab dari tindakan sadis ini adalah karena ia memilih untuk menikah sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa mendapatkan persetujuan dari keluarganya [The Hindu]. Kejadian ini kembali mencerminkan betapa seriusnya masalah honour killing di Pakistan yang terus berlanjut dan menyisakan banyak pertanyaan mengenai hak-hak perempuan dalam masyarakat patriarki.

Budaya Patriarki Yang Kuat dan Hukum Adat di Pakistan

Pertanyaannya adalah, mengapa kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus honour killing masih sering terjadi di Pakistan. Terdapat beberapa faktor, seperti kuatnya sistem patriarki, feodalisme dan hukum adat kesukuan di Pakistan. Pola pikir ini juga menyebar pada kalangan masyarakat perkotaan dan pedesaan [Sadiq Bhanbhro, KARO KARI-THE MURDER OF HONOUR IN SINDH PAKISTAN: AN ETHNOGRAPHIC STUDY, AESS International Journal of Asian Social Science, 2013, hal. 1471.].

Pakistan adalah negara yang menerapkan perpaduan antara hukum sipil dan hukum syariat, yaitu ajaran Islam dijadikan sebagai dasar pandangan negara. Norma patriarki yang terbentuk di kalangan masyarakat adat Pakistan, mungkin disebabkan pengaruh dan pemahaman agama yang salah dalam menerjemahkan ayat Al-Quran, surat An-Nisa ayat 34. Laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan, karena laki-laki telah menafkahkan hartanya, oleh karena itu perempuan diharapkan patuh terhadap setiap keputusan laki-laki walau hal tersebut merugikan.

Budaya patriarki diperkirakan datang ke Pakistan melalui migrasi masyarakat Arab, setelah penaklukan wilayah Sindh oleh Dinasti Umayyah. Budaya patriarki bertujuan mengontrol sistem sosial demi kehormatan keluarga agar perempuan wajib tunduk pada norma sosial. Budaya kehormatan ini diadopsi oleh suku Baloch dan Pashtun yang memiliki pemahaman bahwa perempuan hanya merupakan sebuah properti.

Kuatnya budaya patriarki di Pakistan dapat terlihat dalam kasus pembunuhan mantan perdana menterinya, Benazir Bhutto. Bhutto yang merupakan satu-satunya perempuan yang pernah memimpin Pakistan, terbunuh melalui peristiwa bom bunuh diri pada Desember 2007. Pelakunya adalah seorang remaja berusia 15 tahun bernama Bilal.

Benazir yang baru saja selesai melakukan sebuah acara kampanye di kota Rawalpindi, terbunuh melalui peristiwa bom bunuh diri saat konvoi berlangsung. Bilal adalah orang yang ditugaskan melakukan serangan oleh Tahreek Taliban Pakistan (TTP). Menurut mantan presiden Pakistan, Pervez Musharraf, pembunuhan terhadap Bhutto tentu saja berkaitan dengan ketidak sukaan kelompok tersebut terhadap perempuan berhaluan barat [BBC].

Suku-suku di Pakistan juga masih menjaga sistem kesukuan mereka. Sistem kesukuan yang terkenal adalah Jirga, yaitu majelis dewan suku yang membuat keputusan menurut konsensus dan selaras dengan ajaran-ajaran lokal tiap daerah. Sistem ini secara aktif dipraktikkan untuk menyelesaikan kasus hukum dan perselisihan dalam internal kesukuan. Meski telah dilarang oleh pemerintah, Jirga biasanya dikelola secara ilegal oleh elit lokal yang terdiri dari laki-laki yang berpengaruh dan mewarisi kekuasaan dalam suku.

Jirga tidak memberikan keadilan kepada para korban atau hukuman bagi pelaku. Namun, justru memberikan kompensasi kepada para pelaku dalam bentuk membayar uang tunai, apabila dimaafkan oleh keluarga korban. Institusi negara seperti kepolisian dan pengadilan yang menangani kasus tersebut dianggap memberi keringanan hukuman kepada pelaku. Undang-undang juga dianggap memberi banyak celah bagi praktek honour killing untuk membunuh tanpa hukuman.

Kuatnya sistem patriarki, feodalisme dan kesukuan di Pakistan, membuat perempuan Pakistan terperangkap dalam lingkungan konservatif negara mereka. Padahal perempuan Pakistan juga dikenal akan prestasinya, sebagai contoh Malala Yousfazai, seorang aktifis perdamaian, pendidikan, sekaligus korban kekerasan. Malala memperoleh nobel perdamaian dari PBB di usianya yang baru beranjak 17 tahun . Menjadi suatu hal yang sangat ironis melihat mereka harus mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dan bahkan dibunuh hanya karena kehormatan.

(AN)