Ada dua narasi ekstrem dalam perang Suriah. Satu, narasi sektarian: bahwa yang terjadi di Suriah adalah perang Sunni-Syiah. Dua, narasi konspirasi: bahwa semua orang yang melawan rezim Bashar al-Assad pastilah agen Saudi/Wahhabi dan/atau Zionis/Amerika. Masing-masing narasi punya signifikansi dalam membangun dukungan terhadap dua poros aktor utama (blok Saudi vs blok Iran) dalam geopolitik Timur Tengah — wilayah yang, dilihat dari Indonesia, ada di ujung lain dari benua Asia itu.
Saya tidak percaya pada kedua narasi itu, narasi yang mengkonstruksi perang Suriah secara biner (pro-Assad vs pro-Wahhabi). Saya inginnya idealis: berpihak pada nilai, bukan aktor politik, meski saya sadar bahwa dalam politik, apalagi politik internasional, yang seperti ini sering tak realistis. (Dalam realpolitik, yang kerap terjadi adalah memilih antara yang buruk dan yang kurang buruk.) Posisi idealis saya: Mau Sunni, mau Syiah, mau non-Muslim, atau mau tak beragama sekalipun, kejahatan tetap kejahatan, baik itu muncul dari rezim maupun dari oposisi/pemberontak, baik itu terjadi dalam kasus perang di Suriah atau kasus agresi Saudi ke Yaman. Meski sedikit atau banyak kepercayaan/ideologi punya peran, kejahatan tetap diatribusikan ke pelakunya, dengan dasar bukti akan perilakunya, bukan kepercayaan/ideologinya, baik itu muncul dari rezim maupun oposisi/pemberontak.
Saya juga tidak percaya bahwa dari 100.000-250.00 orang tewas dan 4-6 juta pengungsi Syria itu rezim Assad tidak punya saham kejahatan sama sekali. Juga tidak percaya bahwa rezim Assad adalah rezim yang demokrat, rezim yang putih sebagaimana diputihkan dan dielukan banyak pendukungnya. Saya percaya bahwa rezim Assad punya saham besar terhadap jumlah korban dalam konflik Suriah itu. Tapi saya juga percaya bahwa di barisan kelompok pemberontak ada para ‘jihadis’ yang berbahaya; ada al-Qaeda, ada ISIS; ada kelompok yang memanfaatkan sektarianisme bukan hanya untuk melegitimasi pemberontakan mereka, tapi juga menyebarnya dan mencari donasi ke banyak penjuru dunia Islam.
Termasuk ke Indonesia. Sebagai orang Indonesia yang kakinya berpijak di Indonesia (bukan Suriah, bukan Saudi, bukan Iran, bukan Qatar), yang saya mau pertama-tama adalah kebenaran informasi; kalau sulit menyajikan berita secara berimbang, minimal tidak menyebar dusta. Maka saya tidak bisa tidak benci pada penyebaran hoax, apalagi dengan memanfaatkan gambar-gambar mengerikan berdarah-darah (yang di-share dengan tega) untuk mendapat sumbangan finansial, menyebar sektarianisme, dan mengimpor konflik ke negeri sendiri.
Ini link foto-foto hoax yang disematkan ke konflik Suriah. Kalau ada sebagian dari klarifikasi di foto-foto ini yang disertai dengan ‘opini’, abaikan. Poinnya adalah: foto-foto ini hoax.