Etnis Jawa adalah etnis yang paling dominan dari segi jumlah di Indonesia. Persentase etnis Jawa sangat tinggi dan bahkan sangat timpang jika dibandingkan etnis Sunda yang dalam kedua sensus berada di peringkat kedua. Pada sensus 2000, persentase etnis Sunda adalah 15,41. Pada sensus 2010, tidak terjadi perubahan yang signifikan dengan persentase etnis Sunda sebesar 15,50.
Ketimpangan dari segi jumlah membuat etnis lainnya menjadi minoritas. Terlebih lagi bagi etnis-etnis yang jumlahnya sangat kecil seperti Osing dan Bawean. Sementara yang dimaksud etnis Jawa sendiri juga tidak bisa disebut homogen karena variasi dari berbagai regional. Jika mengacu pada deskripsi yang masih kaku dari Geertz dalam Agricultural Involution (1966) maka daerah Kebudayaan Jawa adalah daerah yang disebut Kejawen yang mencakup Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri.
Dalam sensus 2000, kedua etnis muncul sebagai kategori tersendiri meski jumlahnya amat kecil. Etnis ini merupakan etnis yang berbeda dan tidak dikelompokkan dalam etnis dengan jumlah yang lebih besar. Terutama etnis ini terpisah dari Jawa meski wilayahnya adalah Pulau Jawa dan jumlahnya kecil. Namun perubahan terjadi pada sensus 2010, kedua kategori etnis ini menghilang.
Penyebab hilangnya etnis Osing dan Bawean dari sensus perlu dilihat dari perspektif yang digunakan sensus untuk mendeskripsikan etnis sebagai suatu kategori tertentu. Ini terutama karena kedua etnis tersebut nyatanya masih eksis dan hanya menghilang dalam sensus, bukan punah.
Pada sensus 2000, konsep etnis yang digunakan adalah konsep yang amat cair. Penentuan etnis sepenuhnya berada di tangan responden. Tidak ada klasifikasi khusus yang disiapkan oleh petugas sensus. Etnisitas adalah identitas yang mengacu pada identifikasi diri sehingga subjek yang menentukan etnisnya sendiri.
Dalam sensus 2010 terdapat sedikit perbedaan dari segi metodologis. Secara konseptual, sensus 2010 mengacu pada definisi suku bangsa yang diajukan Koentjaraningrat (2002), “suku bangsa adalah golongan yang terikat kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan””. Namun terdapat pula yang dimaksud dengan kelompok suku bangsa. Terdapat kelompok-kelompok yang dinyatakan sebagai satu sub-etnis yang dikelompokkan dalam etnis tertentu.
Dalam sensus 2010, suku Osing dan Bawean dikelompokkan dalam suku bangsa Jawa. Pencampuran ini membuat suku bangsa Osing dan Bawean tidak lagi terpisah seperti halnya dalam sensus 2000. Berbeda dengan sensus 2010, Ananta, dkk dalam Demography of Indonesia’s Ethnicity (2015) juga memisahkan Osing dan Bawean dari suku bangsa Jawa dengan prinsip yang disebut sebagai new classification. Namun sensus 2000 juga tidak sesuai dengan new classification ini karena terdapat suku bangsa yang dianggap sebagai sub-etnis dalam new classification, seperti Samin, Tengger, Nagaring, dan Nagarigung.
Adanya etnis seperti Samin, Tengger, Nagaring, dan Nagarigung dalam sensus 2000 juga berbeda dengan sensus 2010 yang memasukkan keempat etnis tersebut dalam kategori etnis Jawa. Perbedaan dari pengategorian etnis dalam sensus 2000, sensus 2010, dan juga Ananta, dkk (2015) menunjukkan bahwa pengelompokkan etnis ini memang sangat cair dan terdapat keragaman pendapat mengenainya.
Tetapi saya melihat bahwa meletakkan etnis-etnis kecil tersebut dalam satu kelompok etnis yang lebih besar dan dominan menimbulkan permasalahan sendiri. Ini sangat bertentangan dengan prinsip self-identification. Selain itu, terdapat latar belakang historis yang memisahkan etnis-etnis tersebut. Dalam pengelompokkan suku bangsa, latar belakang historis ini menjadi terabaikan.
Etnisitas juga dipengaruhi dengan faktor sosial politik dan sejarah. Sayangnya data statistik yang kuantitatif dan juga pencatatan sensus yang terlalu simplistik. Seperti yang diungkapkan James C. Scott dalam Seeing Like A State (1998), sensus merupakan instrumen penting untuk membentuk keteraturan bagi negara modern.
Dalam sensus, warga diikat sebagai populasi dan dicatat untuk tujuan pengaturan sebagai manifestasi visi modernitas dari negara. Bahkan dalam sensus sebelum tahun 2000, etnis tidak dicantumkan karena dianggap dapat mengancam persatuan. Permasalahan yang justru disingkirkan etnis ini akan saya bahas dengan mengambil contoh Bawean, Osing, dan Samin.
Etnis Bawean sebagai salah satu etnis yang statusnya dalam sensus 2010 adalah bagian dari etnis Jawa misalnya memiliki latar sosial budaya tertentu. Latar ini membedakan mereka, dan membuat mereka memutuskan untuk membedakan diri, dengan etnis Jawa. Wijayanti (2016) menyatakan bahwa orang Bawean menolak untuk disamakan dengan orang Jawa ataupun orang Madura.
Dari segi bahasa, terdapat kemiripan antara bahasa Bawean dengan bahasa Madura. Namun orang Bawean menolak dianggap orang Madura. Ini karena Pulau Bawean yang penduduknya terdiri dari berbagai pendatang. Banyaknya pendatang dari berbagai tempat ini berbaur dan menjadi golongan yang tersendiri. Dalam Ananta, dkk (2015), orang Bawean berada di peringkat 92 dari 145 suku bangsa dengan jumlah 83.409.
Osing menganggap diri mereka sebagai orang asli Banyuwangi (Ananta, dkk, 2015: 46). Mereka menamakan diri mereka Tiyang Osing. Dibanding kebudayaan Jawa, kebudayaan Osing berbeda. Suku Osing pada 2010 berjumlah 286.653. Jumlah ini menempatkan Osing sebagai etnis ketiga terbesar di Jawa Timur pada 2010. Nyatanya ini tidak cukup untuk membuat Osing menjadi satu kategori tersendiri dan justru dimasukkan ke dalam etnis Jawa meski kebudayaanya berbeda.
Samin juga memiliki latar belakang historis yang membedakannya dengan orang Jawa. Ini terutama mengacu pada penolakan Samin atas konsep ketuhanan dalam Islam. Kosmologi Samin berbeda dengan kosmologi Jawa dan ini sangat ditekankan oleh mereka.
Dalam sejarahnya, Samin dinyatakan sebagai suatu aliran yang memiliki simbol, kultus, dan doktrin tersendiri. Walaupun Ananta, dkk (2015) mengelompokkan Samin sebagai sub-etnis Jawa, seperti halnya Tengger. Tentu pencampuran dengan Jawa tersebut tidak bisa sembarangan mengingat justru berdirinya kelompok Samin diawali dengan penolakan akan kebudayaan dominan Jawa. (AN)