Hikmah sedekah begitu luar biasa, sehingga dalam al-Quran disebut sebagai pinjaman kepada Allah swt. Salah satu hikmah dari sedekah yang ikhlas terdapat pada kitab Ushfuriyyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar. Inilah sebagian di antara hikmah sedekah dari kisah insan mulia Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidah Fatimah, sebagaimana berikut.
Suatu hari, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. dan Sayyidah Fatimah r.a. menyedekahkan uang sebesar enam dirham kepada seorang Arab yang sangat membutuhkan. Padahal, mereka pun sangat membutuhkan uang tersebut yang tadinya akan digunakan untuk membeli makanan bagi kedua putranya; Hasan dan Husain. Uang itu pun bukan milik Sayyidina Ali melainkan punya Siti Fatimah r.a. yang didapat dari pemberian sahabat Salman Al-Farisi.
Ketika Fatimah tahu bahwa Ali pulang dengan tangan hampa—karena uang yang dititipkan telah disedekahkan, sebagai seorang wanita dan manusia biasa, Fatimah merasa sedih dan menangis tetapi hal itu diiringi dengan keridaan dan keihklasan karena Allah SWT.
Menyadari hal itu, Ali pun ke luar rumah hendak menuju rumah Rasulullah SAW. Akan tetapi, di perjalanan Ali bertemu dengan seorang Arab yang sedang membawa dan menawarkan unta. Lalu, orang Arab itu menjual unta tersebut kepada Ali dengan akad diakhirkan (tidak kontan / ditangguhkan) seharga 100 dirham. Kemudian, Ali menjual unta tersebut kepada orang Arab lain dengan harga 300 dirham dan dibayar tunai.
Singkat cerita, Ali kembali pulang untuk menemui Fatimah. Ketika Fatimah mengetahui kedatangan Ali dengan membawa uang sebesar 300 dirham, sebagai seorang ibu yang ingin memberi makan kedua putranya, Fatimah tersenyum dan menanyakan hal ihwal terkait uang itu. Ali pun menceritakan yang sebenarnya dan dibelilah makanan menggunakan uang tersebut.
Selesai berbincang dengan Fatimah, kemudian Ali menuju rumah Rasulullah SAW. dan ternyata beliau SAW. sudah menunggu kedatangan Ali yang disambut dengan senyuman ketika melihatnya tiba. Lalu Nabi SAW menyapa dan memberitahu kepada Ali bahwa orang Arab yang menjual unta itu adalah malaikat Jibril AS dan yang membeli unta itu darinya adalah malaikat Israfil AS yang menjelma menjadi manusia.
Berdasarkan kisah ini, ada sembilan hikmah yang dapat diambil yakni: pertama, akhlak, adab, ikhlas dan ridha lebih diutamakan serta harus terjalin dan mengakar diantara keluarga, baik itu pada diri anak, istri maupun suami. Hal tersebut agar hubungan keluarga, hakikat sakinah mawadah warahmah terjalin dengan harmonis dan hubungan kekeluargaan semakin erat satu sama lain. Dengan kata lain, ketaqwaan adalah pondasi utama dalam menjalin keluarga harmonis.
Kedua, kejujuran sangat ditekankan dalam menjalin keluarga yang harmonis agar terhindar dari miskomunikasi antara suami-istri dan antara orang tua dengan anak.
Ketiga, memanfaatkan harta sesuai dengan kebutuhan dan keperluan. Keempat, lebih mengutamakan kepentingan orang lain dengan didasarkan kemaslahatan bersama dan ikhlas-ridha karena Allah SWT.
Kelima, percaya dan yakin pada janji Allah yang pasti akan membalas kebaikan seseorang dengan berlipat ganda. Pada kisah tersebut diatas Allah melipat kebaikan dengan 50 kali lipatan (yang semula 6 dirham menjadi 300 dirham). Padahal dalam salah satu ayat al-Quran yakni surat al-Baqarah [2] ayat 261, Allah akan melipatgandakan pahala bagi seseorang sampai 700 kali lipat bahkan—jika Allah berkehendak—balasannya sampai tidak terhingga (hanya Allah yang tahu).
Keenam, Allah akan memberikan karunia-Nya dari jalan yang tidak terduga. Ketujuh, karunia itu akan diberikan ketika sudah berada dalam puncak kesusahan dan telah melakukan pengorbanan serta usaha. Kedelapan, sebelum mendapatkan sesuatu, perlu ada pengorbanan, baik pengorbanan harta, tenaga, waktu, pikiran dan sebagainya. Kesembilan, kisah ini memberi pengetahuan suatu hukum fiqh terkait jual-beli yang memperbolehkan dengan cara dihutangkan atau dibayar diakhir yang dinamakan dengan istijar.