Hikmah Puasa dalam Pandangan Imam Sya’rani

Hikmah Puasa dalam Pandangan Imam Sya’rani

Hikmah Puasa dalam Pandangan Imam Sya’rani

 

Abdul Wahhab As-Sya’rani adalah salah satu tokoh ulama abad 10 hijriyah. Lazimnya ulama masa itu, ia juga menguasai beragam keilmuwan dan memiliki karya di semua bidang yang dikuasainya tersebut. Kepakaran dan ketokohan Imam Sya’rani tampak dalam karya-karya yang membahas fikih, akidah dan terutama tasawwuf. Ia mampu menalarkan ajaran-jaran kaum sufi yang bagi sebagian orang dianggap berat dan menyelaraskannya dengan Al-Quran ataupun hadits. Ia juga bisa dianggap sebagai juru bicara dari Syaikh Akbar Ibnu Arabi. Di tangannya, ajaran Ibnu Arabi yang sering disalahpahami sehingga memunculkan label sesat atau terpengaruh fisafat Yunani menjadi bersih dan tampak jelas selaras dengan Al-Quran hadits serta ajaran ahlissunnah wal jama’ah.

Pandangan As-Sya’rani tentang puasa salah satunya dapat ditemukan dalam karya beliau Lawaqih al-Anwar Al-Qudsiyyah. Hal pertama yang ia tekankan adalah keharusan bagi tiap muslim untuk mencintai puasa. kecintaan tersebut menurut As-Sya’rani seharusnya bukan karena pahala yang dilipatgandakan di bulan Ramadlan atau leburnya dosa dengan melakukan puasa. Kecintaan tersebut selayaknya karena puasa memang memiliki nilai penting di sisi Allah. Allah berfirman dalam hadits qudsi “Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan AKU yang akan memberikan balasannya.” Dalam hadits tersebut puasa langsung disandarkan kepada Allah puasa itu untuk-Ku. Inilah keistimewaan puasa dan seharusnya dari sisi inilah kita bergembira melakukan puasa. Tidak ada ibadah yang langsung disandarkan kepada Allah selain puasa. Penyandaran ini menurut Ali Al-Khawwash sebagaimana yang dinukil As-Sya’rani dipandang dari sisi sifat shamadiyah yaitu ketiadaan makan dan minum. Allah adalah Dzat yang tak membutuhkan itu semua  sedangkan orang yang berpuasa juga tidak makan dan tidak minum. Keadaan seperti ini seperti sifat Allah sehingga wajar bila pahala puasa langsung disandarkan kepada Allah.

Di antara beberapa faidah puasa yang mendapat perhatian khusus dari As-Sya’rani adalah fungsinya sebagai tameng yang menutup jalan setan menggoda manusia. Faidah ini berlaku mulai dari Ramadan saat ini hingga tahun mendatang. Faidah ini menjadi penting karena ketika pintu godaan setan telah berhasil ditutup maka ada harapan besar ke depan pelaku puasa akan menjalani kehidupan yang lebih baik, kehidupannya lebih agamis dan tak terkungkung dalam kesenangan sesaat karena nafsu sudah tak memiliki kekuatan pendukung dari bisikan setan.

Selanjutnya As-Syarani menjelaskan faidah ini hanya bisa diperoleh bila puasa kita jalankan dengan mengurangi porsi makan dan minum dari ukuran hari-hari biasa. Berbuka dan sahur dengan menu yang wah dan beraneka ragam meebihi hari biasa justru membuka jalan bagi setan sehingga di kemudian hari setan lebih lelauasa dan memiliki banyak jalur menggoda manusia. Puasa adalah penyucian lahir dan batin. Titik utama puasa adalah melatih diri kita untuk mengendalikan nafsu. Dengan nafsu yang semakin bisa dikendalikan maka ruang gerak setan semakin sempit. Hal ini karena sebenarnya setan tak punya kemampuan untuk membawa manusia melakukan dosa. Ia hanya bisa mendorong, memprofokasi dan mengajak untuk berbuat dosa sedang keputusan eksekusi ada pada diri manusia itu sendiri yang tergambarkan dalam nafsu. Ketika berbuka dan sahur kita gunakan untuk melampiaskan semua keinginan, di sinilah kita sebenarnya memperbesar nafsu kita sehingga di kemudian hari upaya setan mengajak berbuat dosa lebih ringan. Karena itu, puasa yang berkualitas dan benar-benar bisa menempa jiwa adalah ketika rasa lapar yang dirasakan melebihi hari biasa dan menu buka sahur lebih sederhana daripada hari biasa.

Penempaan fisik dan jiwa sejak awal puasa ini juga merupakan salah satu hikmah lailatul qadar diletakkan di hari-hari terakhir Ramadlan. Puasa sejak hari pertama hingga pertengahan adalah semacam persiapan diri secara fisik dan kejiwaan untuk malam lailatu qadar. Dengan mengatur dan menjaga puasa berkualitas sejak awal, kita dapat melaksanakan ibadah pada malam lailatul qadar dengan hati yang bersih sehingga layak mendapat anugerah agung di malam yang agung tersebut. Akhirnya ketika puasa telah berlalu, kita menjadi orang baru dengan hati yang telah bersih dan siap memandang kehidupan dengan perspektif yang baru.

Demikian sekelumit tentang puasa yang disampaikan as-Sya’rani. Puasa yang berkualitas adalah yang bisa mengubah hati kita. Ketika nafsu sudah bisa dikendalikan dan ruang gerak setan semakin sempit maka keegoan akan hilang. Saat itulah, orang akan memiliki kepekaan sosial yang lebih tinggi,kepekaaan jiwa yang semakin tajam untuk memahami ibarh dan isyarat dari Allah Swt. Dan tentunya akan lebih baik dalam beribadah dan mengabdi kepada-Nya.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Magelang