Nabi SAW pernah memberi kita sepucuk pesan, “Apa saja yang membuatmu tak nyaman itu adalah musibah/cobaan”. Pesan ini dikutip dalam Tafsir al-Baidhawi. Kita mencintai seseorang yang sudah bertahun-tahun tetiba dapat kabar ia dipinang oleh orang lain, itu juga musibah, atau kita pernah difitnah yang membuat nama baik tercoreng itu juga musibah bahkan perasaan cemas, khawatir dan takut pun Tuhan sedang menguji suasana kebatinan kita.
Nasihat di atas membawa kita pada renungan kalam ilahi, surat al-Baqarah ayat 155-156, bahwa “Sungguh Aku akan menguji kalian dari sedikit sesuatu dengan perasaan takut, masa di mana akan kelaparan, kekurangan harta benda hingga kehilangan nyawa apakah keluarga atau orang-orang terdekat. Semua ujian itu secara manusiawi tak diinginkan dan tak disenangi oleh manusia termasuk rasa takut dan cemas. Tapi Tuhan menghibur hamba-Nya wa basysyiri al shaabiriin (berilah kabar gembira bagi orang-orang bersabar)”.
Sebab itu, Nabi-Nya mengilhami kita semua dengan sabdanya, “Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, pasti Dia akan menguji dicintai-Nya. Jadi, ujian Tuhan bukanlah derita melainkan pelita untuk melihat kebahagiaan, ia adalah kabar gembira dari langit karena cinta-Nya, perasaan takut dan cemas menuntun kita pada kearifan hidup dan derita juga cara mengantar diri pada Tuhan.
Corona adalah ujian kecemasan, rasa takut akan kehilangan nyawa dan nasib ekonomi untuk bertahan hidup bahkan kehilangan pekerjaan (al-amwal). Kecemasan sewaktu-waktu ia terpapar dan dijauhi orang lain bahkan keluarga sekalipun. Lalu bagaimana mungkin tak cemas dan khawatir sebab sisi kemanusiaan kita tak mau sakit, butuh kejelasan hidup untuk bertahan hidup? Apakah salah? Yakinlah Tuhan tidak akan menghukummu, karena Dia tahu pada dirimu ada aspek jasmani/fisikmu.
Tapi Tuhan ingin manusia mendekati dengan aspek rohani. Manusia punya sisi spiritual-rohani, bukan sebatas fisik-jasmani saja. Ikhtiar untuk terhindar dari virus Corona dengan cuci tangan, pakai masker dan physical distancing adalah usaha jasmani-fisik, hal itu tak cukup sebab belum menyentuh aspek spiritualnya. Sisi spritualnya akan tersentuh dengan mengarifi takdir, berupaya tabah hingga mendekati Tuhan.
Untuk bersabar dan mengarifi semuanya tak sekedar jasmani-lidah yang menuturkan bahwa segalanya dari Allah akan kembali kepada-Nya, tapi keyakinan bahwa Tuhan memperlihatkan segala kenikmatannya dan sindiran pada manusia betapa lemah tak berdaya sama sekali.
Jika kekuatan batin-rohaniah tegar dan kuat manusia tak akan mengingkari janji Tuhan, “la yukallifu Allah nafsan illaa wus’ahaa“, berarti Tuhan tak akan memberi cobaan/beban, rasa cemas dan takut melainkan manusia punya kekuatan dan kemampuan untuk menghadapi dan menjalaninya.
Bukankah, Tuhan sendiri yang membisikkan kita untuk meyakinkan dengan mengulang-ulang inna ma’a al usri yusraa, fa inna ma’a al ‘usri yusraa, pertanda Tuhan meyakinkan pada manusia setiap kesulitan dan cobaan bersamaan dengan kemudahan (bukan setelah kesulitan) itu berarti setiap cobaan hidup sudah bersamaan dengan kemudahan dan kelapangan.
Singkatnya, pada waktu tertentu ujian akan selalu ada dan datang, tapi waktu tertentu pula ia akan berakhir dan pergi dengan usaha manusia dan kesabarannya. Jadi butuh kesiapan jasmani-fisik dan rohani-spitual. Rumi pernah mengatakan obat dari derita adalah derita itu sendiri.