Bila dipahami secara mendalam, puasa tidak hanya mencegah diri dari makan dan minum semata, namun lebih dari itu hakikat puasa adalah bagaimana seseorang bisa mencegah diri dari makan, minum, bersetubuh, dan berbicara kotor. Senada dengan pengertian tersebut tersebut, Sufyan bin Uyainah memberikan etimologi puasa sebagai berikut:
“Puasa adalah kesabaran, yang mana seseorang bersabar atas makanan, minuman, dan persetubuhan”.
Secara terminologis para ulama madzhab empat mempunyai pandangan yang berbeda dalam memberikan pengertian puasa. Menurut mayoritas ulama Hanafiah, puasa secara terminologis adalah mencegah diri dari sesuatu yang khusus, yaitu makan, minum, dan bersetubuh dengan syarat-syarat tertentu. Adapun ulama Malikiah memberikan terminologi puasa dengan istilah pengendalian diri yang dilakukan oleh seseorang terhadap dua syahwat, yakni syahwat perut, kemaluan, dan yang sejenisnya demi meredam hawa nafsu sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah s.w.t. pada siang hari, diawali dengan niat sebelum fajar.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iah sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab pengertian puasa secara terminologis adalah aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam menahan dan mencegah diri secara khusus, terhadap sesuatu yang khusus, di waktu khusus, dan dilakukan oleh orang-orang yang khusus. Selanjutnya Ulama Hanabilah memberikan pengertian puasa secara terminologi dengan aktivatas yang dilakukan oleh seseorang dalam mencegah diri dari segala hal yang khusus pada waktu khusus.
Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan oleh para ulama empat madzhab di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwasanya pengertian puasa secara teminologis adalah mencegah diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya seperti makan, minum, bersetubuh, mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari diawali dengan niat khusus demi mengharap keridhaan Allah s.w.t. dan untuk melatih diri dari godaan hawa nafsu yang senantiasa datang.
Dalam kaitannya dengan hikmah yang ada di bulan Ramadhan, puasa yang menjadi kewajiban setiap individu merupakan wahana pembinaan mental. Karena di dalamnya ada aktivitas melatih diri untuk senantiasa menjadi pribadi-pribadi yang taat dalam melaksanakan segala hal yang menjadi perintah Allah dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang menjadi larangan-Nya.
Sehingga demikian, karakteristik seorang muslim yang pada dasarnya condong kepada perbuatan-perbuatan baik akan semakin meningkat seiring dengan bekal-bekal yang ia peroleh saat melaksanakan puasa yang dilakukannya dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.
Muslim sejati adalah yang memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai bulan di mana Allah mendidik hamba-hambanya untuk menjadi manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, pantang bagi seorang muslim menyia-nyiakan kesempatan tersebut dengan perbuatan-perbuatan yang tidak berarti.
Bagi seorang muslim yang taat, Ramadhan adalah kesempatan untuk meningkatkan kualitas ibadah, sehingga ia terlepas dari dosa-dosa yang pernah dilakukan, sehingga ia kembali pada fitrahnya yang suci dan bersih. Mengenai hal ini Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari, 37. Muslim, 1266).
Dengan demikian, jika substansi hadits di atas diaplikasikan dengan sungguh-sungguh oleh setiap individu muslim, maka pada hakikatnya, ia sudah menemukan hikmah yang paling besar di balik Ramadhan ini. Pada surat al-Baqarah ayat ke 18, Allah dengan tegas menyatakan, bahwa inti dari puasa Ramadhan adalah untuk membentuk umat nabi Muhamamad menjadi umat yang paripurna, yaitu umat yang mempunyai predikat takwa.
Mengutip pendapat DR. KH. Zakky Mubarak, MA dalam “Shiyam Ramadhan, Tuntunan dan Hikmahnya”, jika seseorang sudah mendapat predikat takwa, maka ia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta kenikmatan surga sebagaimana yang telah Allah janjikan di dalam salah satu ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam surga dan kenikmatan”. (QS. al-Thur, 52:17).
Untuk itu jika Ramadhan telah tiba, seorang muslim harus menyambutnya dengan kegiatan-kegiatan positif seperti memperbanyak ibadah, melakukan aktivitas ilmiah, berdakwah dengan lisan atau tulisan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sehingga pada saat keluar dari bulan suci tersebut, ia menjadi hamba-hamba Allah yang paripurna dengan predikat takwa yang disandang. Amin…
Mohammad Khoiron, penulis adalah pengakaji islamic studies. Bsia ditemui di @MohKhoiron