Hikayat Ulama dan Hadis Nabi, Bertentangan?

Hikayat Ulama dan Hadis Nabi, Bertentangan?

Hikayat Ulama dan Hadis Nabi, Bertentangan?

Banyak kiai pesantren menggunakan hikayat tentang para wali dan kiai terdahulu sebagai pendekatan saat menyampaikan pesan-pesan agama. Mereka tidak hanya mendaras hadis Nabi Muhammad, tetapi juga hikmah dari cerita orang-orang saleh yang menebar inspirasi. Kadang tidak semua orang suka dengan cara ini.

Bahkan di antara mereka mempertentangkannya dengan hadits nabi sambil berkata sinis “kamu ikut nabi apa kiai?” Mereka barangkali leka, bahwa kiai adalah ulama pewaris para nabi. Pun mereka menutup mata bahwa dari pendekatan bercerita ini telah lahir insan muslim yang ikut menebarkan Islam penuh kasih.

Islam yang tidak hanya lahir dari pemahaman sempit atas teks-teks hadis nabi, tetapi juga bersumber dari teladan para ulama’ sebagai penerjemah pesan nabi secara kontekstual.

Cerita yang dikutip dari kitab Sunan al-Muhtadin fi Maqamat al-Din karya Syekh Muhammad bin Yusuf al-Abdari ini menyangkut pikiran buruk yang sempat terlintas dalam diri Syekh Abu al-Abbas ibn al-Arif mengenai cara gurunya, yaitu Syekh Abu Ali al-Shadifi, mendaras kaji. Pada kesempatan itu, Syekh Ali sedang membacakan sebuah hadits. Belum tuntas hadits itu dijelaskan, sang syekh menutup kitab, lantas beralih menceritakan beberapa kisah.

Melihat ini, Syekh Abu al-Abbas berpikir, “Bagaimana bisa seorang syekh memotong pembacaan hadits Rasulullah, dan beralih menceritakan hikayat?” Belum selesai pikiran Syekh Abu al-Abbas bergerilya, Syekh Ali tiba-tiba memandangnya dengan wajah memerah pertanda marah.

“Hai Ahmad, hikayat itu satu tentara di antara bala tentara Allah yang dengannya Allah memantapkan hati para hamba yang memiliki makrifat kepada-Nya.” Ungkapan Syekh Ali ini menyambar tepat di jantung pikiran nakal Syekh Abu al-Abbas. Sang guru ternyata memiliki kewaskitaan atas apa yang tersirat dalam benak muridnya itu.

Sambaran itu sontak membuat seluruh badannya bermandikan keringat. Rasa takut benar-benar menguasai diri Syekh Abu al-Abbas. Ketakutan ini memuncak saat tatapan tajam Syekh Ali mengarah langsung kepadanya. Dalam tatapan tersebut, Syekh Ali mengatakan sesuatu.

“Hai Ahmad, bagaimana dalil pentingnya hikayat di dalam Alquran?”

“Engkau tentu lebih mengetahui wahai syekh,” kata Syekh Abu al-Abbas menjawab pertanyaan gurunya.

Syekh Ali kemudian merapalkan sebuah dalil dari Al-Quran:

“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami kisahkan kepada kamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu (Muhammad)…” (Q.S. Hud : 120).

Demikianlah, sebagai sebuah pendekatan menyampaikan pesan agama, Al-Quran telah memberikan justifikasi terhadap kehebatan hikayat. Hikayat telah meluluhkan kerasnya hati sebagian orang. Hikayat telah menebarkan kasih bagi sebagian orang yang sebelumnya hidup dipenuhi kemarahan.

Hikayat para ulama tidak perlu dibenturkan dengan hadis Nabi. Laku para ulama adalah kristalisasi dari peri hidup nabi. Mengikuti nabi dengan menolak inspirasi dari hikayat para ulama adalah sikap gombal sama sekali. Kerena tidak semua hadis nabi terjelaskan secara praktis sesuai dengan tantangan hidup saat ini. Hikayat para ulama yang lahir dari laku keseharian mereka adalah tafsir praktis atas apa yang belum terjelaskan di dalam hadits nabi.

Hikayat para ulama adalah jembatan yang memungkinkan kita untuk memahami apa yang dimaksudkan di dalam pesan nabi. Jembatan ini sekaligus menjadi penghubung atas apa yang paling mendekati maksud nabi. Menyusuri jembatan yang menghubungkan kepada nabi adalah salah satu pelajaran utama dari mendaras hikayat para wali. Wa Allahu a’lam