Di Selatan kampung saya ada jalan raya beraspal dengan ruas tidak terlalu lebar. Dulunya jalan ini milik warga kampung saya, mereka mewakafkan tanah untuk jalan raya bagi masyarakat umum untuk mempermudah pengangkutan hasil pertanian masyarakat. Jalan raya ini kemudian menjadi jalan raya milik negara. Tepat di Selatan kampung saya ada kali kecil yang menjadi pembatas wilayah Kota Mataram dengan kabupaten Lombok Barat.
Waktu kecil saya biasa ikut Mbah King saya ke sawah. Menjelang siang biasa saya diajak mandi di sungai Kokok Bangket namanya. Pada tahun 1980-an Kokok Bangket masih jernih airnya. Maklum Pagutan merupakan kelurahan di Kota Mataram dengan tanah yang subur dan air yang jernih. Sawah-sawah di perbatasan Kota Mataram dengan Lombok Barat adalah persawahan dengan kualitas tanah terbaik. Tidak saja menghasilkan padi terbaik, tembakau terbaik,tapi juga kangkung dengan kualitas pujaan.
Tapi sayang belakangan bentangan sawah-sawah itu telah menjelma jadi perumahan. Para pengembang membangun perumahan kelas subsidi di salah satu areal lahan hijau terbaik di pulau Lombok.
Sekarang, setiap kali melewati jalan beraspal ke arah Selatan itu, kenangan masa kecil saya membentang dan membuntuti.
Saya terkenang Mbah saya, menggarap sawah dan memelihara sapi. Kami biasa mandi siang sebelum solat Lohor (dhuhur) di Kokok Bangket. Setelah itu Mbah saya akan mengambil daun pisang untuk membungkus telur itik dan kemudian dibakar. Begitu daun pisang habis terbakar,matanglah telur itu dengan rata.
Salah satu cerita mbah saya adalah tentang seorang wali majzub yang berasal dari kampung Terongtawah, kecamatan Labuapi, Lombok Barat, yakni Allahuyarham Datuk Mansur. Nama datuk Mansur kebetulan diabadikan sebagai nama jalan dari perbatasan Kota Mataram dengan Lombok Barat sampai kampung Bagu.
Saya teringat cerita tentang Datuk Mansur karena dua hal : marajalelanya korupsi kekuasaan dan korupsi keagamaan.
Belakangan memang banyak pak dhe atau paman paman saya yang agak keberatan dengan kemudahan orang menyebut seorang ahli agama sebagai “tuan guru”. Pada masa lalu, sebutan tuan guru hanya untuk mereka yang memilki ilmu yang melaut dan memiliki tanda ruhani yang dirasakan orang banyak. Kalau kedua hal belum menyatu pada seseorang, maka ia belum lagi bisa disebut seorang Tuan Guru.
Saya sendiri merasa terbeban dipanggi TG di Jawa. Tapi saya tidak menghayati panggilan itu karena merasa tidak layak.
Di masa kemarau politik seperti sekarang ataupun di masa lalu, para kekasih Allah yang majdzub ini menjadi pengkritik keras pemerintah yang korup dan ahli agama yg cinta dunia.
Kita mengenal istilah “uqalaul majanin” : orang-orang cerdas yang eksentrik, orang-orang waras yang dianggap gila orang orang umum. Seperti Syeikh Sa’dun atau Syeikh Bahlul yang terkenal itu.
Baik Syaikh Sa’dun dan Syaikh Bahlul, mengkritik orang yang mengaku-aku sebagai kekasih Allah dan para penguasa. Kritik kepada kedua kelompok dilakukan dengan terbuka dan apa adanya. Baik Syeikh Sakdun maupun Syeikh Bahlil sering memperingatkan penguasa pada masanya melalui surat terbuka dan mengkritik para penguasa di depan mereka langsung ketika beliau beliau diundang para penguasa.
Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa para sufi ahlussunnah itu tidak aktif berpolitik. Istilah Milad Milani dalam The Sufi Political Thught, para sufi memilih menghindari kekuasaan dan memilih menegaskan otoritas keruhanian mereka. Menghindari (stepsiding) dalam pengertian tidak tertarik dengan kekuasaan,cuek dan tidak mau tunduk atau terlihat butuh kepada para penguasa.
Kaidah tasauf sederhana soal kekuasaan: ulama yang telah selesai dengan dirinya yang bisa berhadapan dengan kekuasaan dan bisa menyalurkan manfaat kekuasaan kepada umat.
Sementara ahli agama yang masih sibuk dengan dirinya sendiri akan menjadi kaki tangan kekuasaan dan mengambil manfaat kekuasaan utk diri mereka sendiri.
Doktrin bahwa melawan pemerintah zalim adalah haram hanya doktrin para ahli agama pemuja kekuasaan.
Datuk Mansur, begitu Mbah mengawali ceritanya, biasa akan keluar rumah memakai songkok yang disebut Torbus (songkok ala orang Turki), songkok hitam tinggi dengan hiasan. Membawa tongkat lengkap dengan gandek (semacam tas). Biasa akan berjalan melewati kampung kami, dan memunguti ayam-ayam mati yang kemudian digantung di tongkatnya. Kalau ditanya orang, “mau kemana?”
Maka akan dijawabnya “, Begocek, “ jawabnya singkat. Begocek adalah adu ayam dengan taruhan, tradisi umum di antara kampung kami dengan kampung suadar Hindu yang menjadi tetangga kami. Ayam ayam mati dipanggulnya keliling kampung yang biasa ia lewati.
Waktu Allahuyarham datuk kami, Tuan Guru Abhar masih remaja, konon Datuk Mansur biasa melewatu kediaman TG Abhar. “Assalamu’alikum, Tuan Guru. Tolor Lombok (tunduk semua Lombok), “ sapa Datuk Mansur kepada Tg Abhar yang masih muda.
Kemudian hari masyarakat Lombok mengenal sosok Tg Abhar sebagai seorang tuan guru yang alim dan seorang Mursyid Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah. Tg Guru Abhar menegakkan kemulian baru dan tidak mengandalkan nasabnya yang kebetulan kakek-kakeknya juga adalah para tuan guru di akhir abad 19 Masehi.
Pada awal 1950-an di tengah panasnya persaingan politik di Indonesia. Suatu siang Datuk Mansur keluar memanggul bubu ikan. Bubu yang dibawanya kemudian ditaruh di jalan raya. Banyak orang bertanya, “Kok masang bubu di tengah jalan ?.” “Akan ada ikan besar tertangkap.” Begitu jawabnya singkat.
Hari itu terjadi peristiwa penting, tokoh politik dan pergerakan Islam terkenal,Almagfurlah Saleh Sungkar tertangkap dan tidak tidak terdengar lagi kabarnya setelah itu. Meninggal, belakangan makam Saleh Sungkar oleh pihak keluarga dipindahkan ke makam Bintaro di Ampenan, di sisi pantai Ampenan.
Apakah untuk mengkritik keadaan yang serba tidak menentu ini harus menunggu datangnya para uqalaul majanin seperti mbah mansur?
Setiap pulang kampung, minimal sekali, saya menyenpatkan ziarah ke makam datuk mansur. Al Fatehah.
Wallahu’alam bishawab.