Hijrah adalah pindah kediaman, demikian terjemahan bebasnya. Kali ini saya mau share tipis-tipis tentang hadits keutamaan hijrah yang digunakan serampangan oleh Islamic State (IS) untuk membujuk muslim untuk pindah ke Suriah, meyakinkan mereka bahwa kepindahan ini adalah hijrah ke Suriah. Mungkin kita masih dapat mengingat atau menemukan jejak berita sejumlah orang memutuskan pindah ke Suriah untuk menjadi kombatan atau support team Islamic State.
Haditsnya jika diterjemahkan gini, “Kelak ada hijrah setelah hijrah. Maka, penduduk bumi terbaik adalah mereka yang tinggal ke tempat hijrahnya Nabi Ibrahim (Syam). Sisa lainnya adalah paling buruknya penduduk bumi, di mana bumi akan memuntahi mereka, Allah membenci mereka, dan kelak api akan mengumpulkan mereka bersama anjing dan babi” (dalam musnad Ahmad bin Hanbal nomor 6871 dan dalam Sunan Abu Daud.
Dalam majalah propaganda IS, Dabiq, hadits ini menganjurkan agar masyarakat muslim hijrah sesuai sabda Nabi Saw dalam hadits tersebut ke Suriah. Dalam hadits lainnya disebutkan bahwa Syam adalah medan laga jihad antara tentara muslim dan tentara Salib, yakni di kota Dabiq. Maka, sebaik-baiknya hijrah dan jihad adalah ke Suriah, menurut pemahaman mereka.
Penting diketahui dalam memahami hadits, ada beberapa hal yang perlu dikuasai yakni ulumul hadits (takhrij hadits, kritik sanad dan matan, asbab wurudh, am khas), Bahasa Arab, dsb. Kok, ribet?
Sebenarnya nggak ribet kalau kita mainnya lebih jauh dan rame temenannya. Gunakan logika, deh. Allah Swt menciptakan buminya terhampar luas, lantas kita malah diminta kumpul di Syam?
Tapi, ya gitu, kadang kalau sudah dihadapkan agama, ada yang langsung meletakkan akalnya ke bagian penitipan. Padahal sedari kecil diajarkan kesempurnaan manusia itu dari makhluk lainnya adalah akal, yang mana manifestasinya adalah dengan cara menggunakannya sebaik mungkin.
Oke, balik lagi ke hadits di atas. Dalam kritik sanad, pada riwayat Abu Daud terdapat Laits ibn Abi Sulaym yang dianggap lemah dalam hapalan oleh Adzdzahabi. Demikian pula dalam riwayat Imam Ahmad, terdapat Shahr ibn Hawshid yang level hapalannya masih diperdebatkan.
Dalam kritik matan, redaksi hadits tersebut menggunakan bentuk penyataan, bukan anjuran apalagi perintah. Pun jika ada yang menganjurkan muslim untuk hijrah ke Suriah, ini kontradiktif dengan hadits riwayat Bukhari dan Imam At-Tirmidzi, bahwa tidak ada hijrah (lagi) setelah peristiwa pembebasan kota Mekah.
Konteks sosio politik zaman pun berbeda. Kota Mekah saat itu terlalu mempersulit muslim beribadah. Pengikut Nabi Saw yang berasal selain dari suku Quraisy dipersekusi, bukan cuma dibully.
Maka, pilihan mencari daerah yang damai untuk ditinggali adalah pilihan paling tepat. Dikotomi dar as-salam (negeri damai) dan dar al-harb (negeri gejolak) atau negeri muslim dan negeri kafir saat ini, menurut saya, sudah tidak relevan. Malah, ini jika diterapkan orang Indonesia ke Suriah justru malah terbalik. Dari negeri damai kok malah ke negeri sengketa.
Demikian, hijrah adalah pengertian kepindahan kediaman berdasarkan secara teologis nampaknya memang sudah tidak. Namun, semangat dan cita-cita hijrah tetap kontekstual: pengorbanan dalam kehidupan, memaknai kehidupan, tawakkal dan usaha.
Wallāhu a’lam bishshawāb