Tempo hari saya membaca berita yang memuat pernyataan Hidayat Nur Wahid (HNW) tentang pernikahan dini. Menurut anggota parlemen dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, dalam ungkapan bahasa Arab, pernikahan dini bermakna pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama.
Menurutnya, arti ‘pernikahan dini’ dalam bahasa Arab berbeda dengan ‘pernikahan dini’ dalam bahasa Indonesia. ‘Dini’ dalam bahasa Indonesia artinya ‘lebih dulu’ atau ‘lebih awal’ sedangkan ‘dini’ dalam bahasa Arab artinya ‘yang sesuai dengan ajaran agama.’
Begitu kira-kira yang saya tangkap dari pernyataan HNW. Saya juga merasa gelisah saat HNW dengan gampangnya membandingkan pernikahan dini dengan kejahatan seksual terhadap anak tanpa memahami konsep kejahatan seksual dengan baik. Atau, kita baca seksama lagi kalimatnya di bawah ini:
“Kata-kata pernikahan dini itu berbeda maksudnya menurut bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia artinya lebih dahulu atau dini atau lebih awal. Dalam bahasa Arab artinya yang sesuai dengan ajaran agama. Jadi pernikahan dini artinya pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama. Karena kita ada di Indonesia, maka ini artinya pernikahan lebih awal. Memang ada beberapa kasus terkait pernikahan dini yang dilakukan seiring kondisi mereka yang di bawah umur. Tetapi secara bersamaan yang sering terjadi di Indonesia dan ini jarang jadi perhatian, adalah fakta bahwa matangnya kedewasaan anak-anak kita, termasuk soal organ seksual mereka, termasuk soal pemahaman tentang seksual, termasuk perilaku seksual mereka, jika dibandingkan kasus pernikahan dini dan kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur, saya yakin angkanya lebih banyak kejahatan seksual,” kata Hidayat Nur Wahid,” kata lengkap HNW seperti dikutip dari VoaIndonesia
HNW mengatakan bahwa angka kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur lebih besar dibandingkan dengan kasus pernikahan dini. Di sinilah letak ketakpahaman HNW, dia tak paham bahwa pernikahan dini termasuk ke dalam kejahatan seksual terhadap anak.
Saya sangat ragu, HNW pernah bertemu dan bicara dengan para penyintas perkawinan anak. Saya ragu dia sanggup bertemu dengan minimal tiga orang pemohon yang mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) Desember silam.
Dengan didampingi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), para penyintas tersebut mengajukan gugatan terkait dengan batas minimal usia pada UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, untuk perempuan dari 16 menjadi 19 tahun, disamakan dengan laki-laki.
Dua di antara pemohon gugatan merupakan orang Indramayu. Saya juga orang Indramayu. Kalau Pak HNW berkenan ingin bertemu meraka, kami siap mengantarkan dan menemani.
Pak HNW, perlu Anda ketahui, kawin anak itu tidak enak. Pernikahan dini membatasi tumbuh kembang dan potensi anak-anak. Mereka seharusnya masih mempunyai mimpi dan masa depan yang gemilang.
Perkawinan anak yang Pak HNW sebut dengan ‘pernikahan dini’ itu telah merampas hak bermain dan belajar anak. Dalam hal ini, yang paling rentan menerima risikonya yakni anak perempuan.
Perempuan yang kawin pada usia anak akan tercabut hak untuk menuntaskan pendidikan wajib belajar 12 tahun, harus menanggung beban dan pengasuhan anak, berisiko tinggi dalam hal reproduksi, tingginya jumlah anak stunting karena gizi buruk, serta menyumbang angka kematian ibu dan bayi.
Tidak hanya saya yang menyesalkan pendapat HNW, Direktur Rumah Kitab Ibu Lies Marcoes termasuk yang menyatakan keberatan itu.
Menurut Ibu Lies, Pak HNW menyatakan seakan-akan tidak tahu bahwa kekerasan dan kejahatan seksual bisa terjadi di dalam perkawinan. Bukan di luar perkawinan saja.
Ini berarti Pak HNW tidak tahu bahwa perkawinan anak adalah salah satu bentuk kejahatan secara seksual. Sebagai orang parlemen menunjukkan jika Pak HNW tidak menguasai poin utama persoalan terjadinya perkawinan anak.
Kesalahpahaman HNW terhadap masalah ini terlihat sejak dulu. Dia pernah menolak wacana pemerintah tentang pemberlakuan batas umur pernikahan.
Aturan rinci tentang batas minimal usia menikah atau batas maksimal beda usia memang tidak terdapat dalam Alquran maupun hadits. Namun kesadaran masih akan perlunya kedewasaan mempelai secara fisik, mental, ekonomi, dan sosial agar perkawinan bisa lebih dekat mencapai tujuan, telah melahirkan ijtihad perlunya batas usia minimal calon mempelai.
Meskipun batasannya sendiri berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya, tetapi intinya ada kesadaran kolektif bahwa demi kemaslahatan perlu aturan yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban.
Maka langkah-langkah yang meminimalisir resiko perceraian akan memperkecil peluang eksploitasi, KDRT, dan disharmoni lainnya pun dilakukan negara dengan menuangkannya dalam undang-undang atau Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu), seperti halnya Perppu Pencegahan Perkawinan Anak.
Sekedar Pak HNW ketahui, di akhir tahun kemarin kami pernah berkumpul dengan kawan jaringan di Jawa Barat untuk membangun komitmen tentang pencegahan dan perkawinan anak, hingga sepakat agar mendewasakan usia perkawinan anak-anak kita.
Ada seorang Ibu perwakilan dari PW Muslimat NU Jawa Barat yang saya lupa namanya, mengatakan bahwa mereka sudah sering melakukan sosialisasi, lalu ketika ada tayangan di media massa berita tentang pernikahan putra seorang publik figur yang juga pendakwah, dengan usia masih belia, itu seperti mementahkan upaya yang sudah dilakukan. Masyarakat pada akhirnya melihat apa yang menjadi tontonan berubah jadi tuntunan.
Begitu pula yang tidak kami inginkan terkait pernyataan Pak HNW tersebut, akan membalikkan persepsi masyarakat tentang perkawinan anak dan pernikahan dini. Sehingga orang akan berbondong-bondong menikahkan anaknya, hanya karena alasan ingin melindungi mereka dari kejahatan seksual.
Alih-alih memberi perlindungan, justru akan menjerumuskan anak pada persoalan yang berkelindan antara kemiskinan berulang, rendahnya capaian IPM, kesehatan ibu muda dan bayi terganggu, pendidikan perempuan terputus, serta pendapatan perempuan rendah.
Pak HNW, saya kira semua elemen bangsa ini sepakat untuk meningkatkan kualitas generasi muda hingga ke tahun-tahun kemudian. Seperti yang pernah Pak HNW sampaikan jika saat ini Indonesia darurat moral dan akhlak. Maka menaikkan batas minimal usia menikah juga merupakan bagian dari menyelamatkan anak-anak bangsa dari keterpurukan dan ketertinggalan.
Karena untuk menyiapkan Indonesia hebat tidak hanya secara fisik, tapi juga mental spiritual, agar anak menjadi generasi yang tangguh dan tak mudah mengeluh. Menghindarkan anak, terutama perempuan dari pernikahan yang terlalu dini supaya mereka juga bisa maksimal mengembangkan potensinya.
Sehingga saya berharap tidak hanya pada Pak HNW, tapi juga pada yang lainnya, selain mendorong adanya upaya hukum perlindungan terhadap anak melalui Perppu Pencegahan Perkawinan Anak, ada kesadaran pula dan komitmen bersama untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak di negeri kita tercinta Indonesia.
*Artikel ini pertama kali terbit di media sindikasi mubaadalanews.com