Munculnya novel Hati Suhita karya Khilma Anis yang viral di dunia santri di berbagai pesantren di Indonesia dalam setahun ini, menjadikan diskursus sastra pesantren bergeliat kembali. Bahkan beberapa orang mangatakan bahwa, novel Hati Suhita ini menjadi titik balik kembangkitan sastra pesantren yang dalam satu dekade belakangan mulai lesu.
Buku Hati Suhita, diakui atau tidak, telah menyedot banyak perhatian publik. Bahkan kabarnya buku ini telah menembus rekor penjualan 80 ribu eksemplar. Selain penjualan bukunya laku keras, buku ini juga telah dibedah di banyak pesantren besar di pulau Jawa. Tidak mengherankan jika buku ini dikatakan sebagai titik balik dari kebangkitan sastra pesantren saat ini.
Tentang sastra pesantren sendiri, sebagaimana yang diutarakan Khilma Anis dalam acara Ngaji Literasi Menuliskan Tradisi di Pesantren Kaliopak Yogyakarta (19/02/2020), sebenarnya dia tidak ingin larut dengan sibuk mendefinisikan apakah novel Hati Suhita termasuk bagian dari sastra pesantren atau tidak. Terlalu sibuk mendefinisikan apa itu sastra pesantren, menurutnya, malah mempersempit ruang untuk melihat dimensi sastra yang begitu luas. Perdebatan definisi sastra pesantren juga tidak lantas membuatnya lebih produktif, namun malah akan larut dalam kerangka definitif yang bersifat teoritik.
Senada dengan Khilma Anis, Kiai Jadul Maula, budayawan sekaligus pengasuh Pesantren Kaliopak, juga menyampaikan bahwa jangan sampai kita sibuk mendefinisikan apa itu sastra pesantren. Namun yang lebih penting dari itu adalah adanya tulisan sendiri yang membawa makna historis.
Jika menilik sejarah, dunia sastra Indonesia telah melahirkan beberapa generasi penyair, mulai pujangga lama hingga pujangga baru dan semuanya memiliki pola historisnya masing-masing. Belum lagi jika kita menengok jauh kebelakang bagaimana kekayaan karya sastra seperti serat, suluk, macapat, dan lainnya yang tersebar hampir diseluruh pelosok nusantara pada zaman kerajaan. Semuanya itu yang kiranya perlu dieksplorasi dan dikembangkan hari ini.
Dalam konteks ke Indonesiaan hari ini, muncul semacam klaim identitas terutama pasca-reformasi yang menyajikan kebebasan yang begitu luas. Sehingga setiap orang bebas mengajukan definisi seperti apa karya sastra yang banyak bentuknya itu. Yang penting adalah kita bisa menuliskan kekayaan tradisi kita sehingga mampu diterima hari ini, sehingga identitas bangsa kita tetap kuat tidak semakin luntur.
Kembali ke Novel Suhita, apa yang digambarkan Khilma Anis dalam novelnya ini merupakan pertentangan antara tradisonalitas dan moderitas yang sudah dimulai sejak polemik kebudayaan akhir abad keduapuluh. Pertentangan ini bisa dilihat dari bangunan tokoh antara Gus Birru dan Rengganis sebagai simbol modernitas. Sementara Alina Suhita dan Kang Darma sebagai simbol tradisional dari kalangan pesantren. Hati Suhita berhasil memposisikan bahwa khazanah tradisi lah yang sudah seharusnya di dahulukan dan menjadi jawaban atas realitas yang terjadi dalam kehidupan ini.
Khilma Anis nampaknya juga menyadari hal tersebut. Dia menceritakan sangat dipengaruhi oleh khazanah keilmuan yang dianggap masa lalu. Ketika banyak penulis merusaha menjangkau pengetahuan di masa depan, Khilma Anis justru sibuk mencari khasanah pengetahuan lama melalui cerita wayang, serat, suluk, dan keris untuk bisa disampaikan ke generasi hari ini. Memang kita harus akui generasi hari ini belum mampu menyerap ajaran-ajaran dari simbah-simbah kita.
Maka dari itulah apa yang dilakukan melalui menulis novel termasuk dalam karya Hati Suhita ini, Khilma Anis ingin mengajak pembaca untuk mencintai tradisi dan budaya kita. Bahwa sebenarnya budaya dan agama itu satu bagian yang saling menguatkan dalam menopang kehidupan berbangsa kita hari ini.
Sastra Digital dan Muslimah Hari ini
Boomingnya Hati Suhita ini terbilang unik. Awalnya Khilma Anis menuliskan seri cerita Hati Suhita ini melalui laman Facebook. Khilma Anis sendiri mengakui pengaruh media sosial menjadi salah satu instrumen kenapa novel ini bisa tersebar begitu luas dan cepat. Dia menyadari bahwa di era digital bagaimanapun kita tidak bisa mengenyampingkan media sosial sebagai realitas yang harus dihadapi.
Dari sanalah kemudian Novel Hati Suhita saat dibukukan mendapat respon positif dari banyak kalangan. Banyak respon positif masyarakat pada buku ini, sebenarnya bukan hal yang kebetulan. Tetapi memang Khilma Anis dalam membawakan narasi cerita sampai pembentukan karakter yang dibangun dalam novel ini, membuat setiap orang yang membaca merasa terwakili, hadir, dalam perjalanan Alina ataupun Gus Birru bagian dari salah satu tokoh dalam novel ini.
Kisah roman khas pesantren yang dibalut dengan khasanah tradisi yang lekat dengan masyarakat Jawa, menjadikan novel ini tidak hanya menggambarkan kisah cinta yang menyayat hati. Namun memberi prespektif baru terkait bagaimana seorang perempuan Muslimah berdiri menghadapi masalah hidupnya. Bahwa seorang perempuan itu harus bisa mikul duwur mendhem jero (memikul tinggi dan memendam dalam), salah satu ungkapan masyarakat Jawa untuk seorang perempuan yang harus mampu mengangkat setingingi-tingginya derajat keluarganya dan menyembunyikan keresahan batinnya sedalam-dalamnya.
Dalam artian lain wanita, digambarkan sebagai wani tapa, atau mau bertapa, tirakat, bahwa tidak selamanya dimensi perlawanan seorang perempuan itu harus ditunjukkan keluar dari dirinya, namun hendaknya juga direpresentasikan dalam dirinya sendiri. Dengan seperti itu, seorang perempuan tidak hanya mengikuti ego atau perasaanya, namun harus bisa menimbang-nimbang dan melihat kemaslahatan yang lebih luas saat menghadapi masalah.
Hal ini kadang tidak disadari oleh Khilma Anis, bahwa apa yang dituliskan dalam novelnya dianggap memberi kekuatan oleh banyak perempuan Muslimah yang membacanya. Sedikit mengejutkan mengingat Khilma juga sempat mengatakan, apa yang ditulisnya tidak mewakili semangat kesetaraan gender ataupun feminisme yang digandrungi perempuan hari ini. Dia menyatakan sudah seharusnya kita melihat perempuan berbeda dengan perempuan di Barat, terutama Muslimah. Kita mempunyai kerangka gender yang begitu erat dengan tradisi dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dan Hati Suhita memilih jalan tradisi yang sesuai dengan budaya kita sendiri.
Selain itu, eksplorasi nilai-nilai tradisi dan pesantren inilah yang menjadikan kenapa Hati suita mempunyai nilai sepesial dari pembacanya. Khilma Anis secara sadar berusaha memberi bingkai baru hubungan antara agama dan budaya, bahwa keduanya sebenarnya saling menopang satu sama lain. Apalagi kalau membicarakan kebudayaan Jawa bisa dikatakan sebenarnya sangat Islami, namun terputusnya akses pengetahuan atas khazanah pengetahuan masa silam sehingga santri di pesantren terputus dengan tradisi pengetahuan yang tersimpan naskah-naskah dan babat tersebut.
Dari konteks itulah, tantangan di era digital hari ini adalah bagaimana mengemas khazanah pengetahuan agar mampu diterima oleh generasi terkini. Belajar dari boomingnya novel Hati Suhita ini, realitas digital sebenarnya tidak bisa dipungkiri. Kita memang harus memulai yang terkecil dari kita sendiri. “Berbuat sedikit lebih baik, dari pada tenggelam pada angan-angan yang banyak”, ujar Khilma Anis.
Mudahnya akses informasi sebenarnya menjadi peluang di hari ini untuk menambah produktivitas berkarya kita hari ini, tinggal bagaimana akses itu diistiqomahi dan ditirakati seperti cara santri mengaji di pesantren. Dinamika kepenulisan sastra di pesantren akan bergeliat kembali. [rf]