Hati-hati Mendakwahkan Hadits Hukum

Hati-hati Mendakwahkan Hadits Hukum

Hati-hati Mendakwahkan Hadits Hukum

Kira-kira 10 tahun terakhir, banyak orang yang sangat bersemangat berdakwah via media sosial atau aplikasi-aplikasi pengantar pesan. Isinya tentu bagus-bagus karena memuat kutipan hadits maupun ayat al Quran. Namun, dalam banyak kasus, banyak yang kurang hati-hati dalam menakar teks-teks religius tersebut.

Salah satu isu yang kurang diperhatikan adalah isu nasakh, yang mencakup nasikh dan mansukh. Dalam ilmu fiqih, baik menyangkut menarik kesimpulan hukum dari al Quran dan al Hadits, sepanjang yang pernah saya ketahui, isu nasakh atau penghapusan hukum yang termuat di suatu dalil oleh dalil lainnya menjadi sangat krusial karena dua alasan. Pertama, tidak pada tempatnya bagi kita, ummat Islam, menghapuskan teks dalil dari al Quran maupun al Hadits yang terbukti valid dan masih ada hingga sekarang (beberapa ayat al Quran menurut kabar ada yang dihapus dari ingatan Nabi dan tidak ada lagi di jaman sekarang), apapun itu isinya. Kedua, terkadang ada perintah atau larangan yang diucapkan Rasulullah atau difirmankan Allah pada suatu masa, kemudian di kali lain, dalam rentang kenabian Sayyidina Muhammad, perintah atau larangan tersebut diubah.

Dengan demikian, kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa teks-teks dalil yang telah dibatalkan isinya oleh dalil yang datang belakangan tetap harus dipelihara keberadaannya, meski tak lagi sah dijadikan sandaran hukum.

Ini yang kadangkala jadi persoalan. Karena dalil-dalil itu tetap ada, maka ia “berisiko” dibaca oleh siapa saja dan perintah atau larangan (dan juga pembolehan/penghalalan) di dalamnya dianggap masih harus dijalankan. Ketika kita menemukan dalil semacam ini dan sedang sangat ingin berdakwah, maka kita seringkali langsung saja menyampaikan kepada orang lain apa yang tertera di situ. Masalahnya, kita tidak cukup berhati-hati untuk melihat lebih jauh status nasakh dari dalil itu. Khususnya bila kita bukan orang yang memiliki wawasan ilmu fiqih yang luas, perbendaharaan pengetahuan kita tentang status suatu dalil mungkin sangat terbatas. Sayangnya, gairah menasehati orang lain terlanjur menggebu-gebu…

Saya sendiri tidak hapal semua status nasakh dari dalil-dalil al Quran dan al Hadits yang ada. Butuh belajar bertahun-tahun untuk bisa memiliki daftarnya. Sehingga, kebijakkan terbaik adalah menyandarkan hal syariat atau hukum yang kita sampaikan kepada perkataan para ulama atau imam fiqih yang sudah dikenal jadi rujukan. Biasanya, semakin dekat dengan jaman Rasul, semakin akurat juga pendapat dan analisis ulama-ulama ini. Meski tentu saja tidak menutup kemungkinan ulama jaman sekarang juga punya tingkat akurasi yang tinggi, setinggi ulama terdahulu.

Tapi apa sebenarnya nasakh ini? Mengiringi istilah nasakh, terdapat juga istilah nasikh dan mansukh. Nasikh artinya yang menghapus, mansukh artinya yang dihapus. Definisi dari nasakh ini sendiri ada beragam. Tidak semua ulama sepakat pada definisi yang sama. Bahkan, sesungguhnya, soal nasakh ini termasuk subyek pembicaraan yang kontroversial di kalangan ulama terdahulu maupun terkemudian.

Kemudian, tidak seperti sebagian besar ayat al Quran yang mengalami naskh dan kemudian dilupakan oleh Rasulullah sehingga tidak ada jejaknya lagi di kitab suci, hadits punya cerita yang berbeda. Karena berbagai dinamika pengumpulan dan periwayatan yang ada, hadits-hadits yang mengalami nasakh ternyata tetap beredar di kitab-kitab yang otoritatif. Di sisi lain, para ulama pada umumnya menyepakati bahwa bila ada dua hadits hukum (ucapan maupun perbuatan dan diamnya Nabi) yang sangat bertentangan satu sama lain, maka ini harus ditimbang status nasakh-nya.

Pertama-tama mereka akan mengkaji kronologi kedua hadits tersebut. Lalu melihat apakah keduanya merujuk pada sebab-sebab hukum yang berbeda, sehingga mengajukan aturan yang juga berbeda (misal kebolehan sholat dalam keadaan duduk bila sedang sakit, namun bila sehat harus berdiri dan duduk secara lengkap sesuai rukun), atau sebab-sebabnya sama dan Nabi memberikan aturan yang lain. Bila ternyata yang terakhir, maka ulama akan cenderung pada kesimpulan bahwa hadits yang diucapkan terlebih dahulu telah dinasakh oleh yang terkemudian. Sederhananya begitu. Rinciannya dapat Anda konsultasikan pada ahli-ahli fiqih yang menguasai bidangnya.

Ada empat situasi yang membuat nasakh dianggap terjadi. Pertama, pernyataan eksplisit dari Rasulullah bahwa suatu perintah atau larangan atau pembolehan sudah beliau batalkan dan digantikan dengan yang baru. Contoh hadits berikut ini:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim)

Di hadits tersebut, jelas Nabi menghapus sebuah larangan dan menggantinya dengan sebuah perintah. Kalau begini bunyinya, tentu tak masalah. Dengan mudah, kita tahu apa hukum berziarah kubur.

Kedua, para ulama menganggap ada pertimbangan nasakh ketika ada perkataan sahabat Nabi bahwa suatu dalil telah diganti dengan aturan yang lain. Contoh hadits:

الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ

“Harus wudhu (lagi) karena makan makanan yang tersentuh api.” (HR Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa makan makanan yang dimasak dapat membatalkan wudhu. Salah seorang sahabat Nabi, sayyidina Jabir dianggap telah menyebutkan bahwa hadits ini sudah dinasakh. Beliau sebutkan sebagai berikut:

كَانَ آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ النَّارُ

Aturan terakhir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, tidak berwudhu karena makan makanan yang dimasak. (HR. Abu Daud)

Ketiga, bila sudah sangat jelas bahwa suatu hadits yang bertentangan dengan hadits lain, memang terjadi/terucap di waktu yang lebih belakangan, dan kedua peristiwa/ucapan langsung dilakukan/diucapkan Nabi, maka naskh dipandang telah jatuh. Ini misalnya menyangkut bolehnya bekam saat puasa, dan dianggap tidak membatalkan puasa. Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Ibn al-Salah, di masa seputar selesainya penaklukkan Mekah, tahun 8 H, Nabi mengatakan bahwa berbekam dapat membatalkan puasa. Kemudian, menurut kesaksian sahabat sayyidina Ibnu Abbas, pada tahun 10 H, Nabi berbekam di saat puasa. Kronologi kejadian ini membuat para ulama menyimpulkan bahwa apa yang Nabi ucapkan di tahun 8H telah dinaskh di tahun 10 H. Status hukum tentang berbekam kemudian menjadi tidak membatalkan puasa.

Keempat, naskh dapat dianggap telah terjadi setelah disimpulkan oleh para ulama berdasarkan berbagai sumber yang ada, bahwa suatu larangan atau perintah ternyata tidak dijalankan oleh Nabi sendiri atau para sahabat.

Sebagai contoh, Nabi pernah memerintahkan orang yang meminum khamr/minuman keras untuk dicambuk dan bila ia mengulanginya sebanyak empat kali, maka ia harus dibunuh. Namun, belakangan ternyata pernah ada kejadian bahwa seorang peminum khamr yang sudah empat kali melakukannya dihadapkan pada Nabi dan Nabi tidak membunuhnya. Kejadian ini ditafsirkan sebagai sebuah nasakh atau penghapusan perintah sebelumnya (hukum bunuh) oleh mayoritas ulama.

Sedikit catatan untuk hadits hukum bunuh pada peminum ini, saya beberapa kali mendapati ada penceramah yang mendakwahkan hadits tersebut untuk menekankan keharaman minum minuman keras. Saya tidak tahu apakah penceramah-penceramah ini tidak mengungkapkan fakta berimbang bahwa ada kesepakatan dari para ulama berdasarkan peristiwa yang disebutkan di atas tentang pembatalan hukum bunuh itu, atau memang mereka tidak mengetahuinya.

Empat contoh di atas hanya secuplik dari rentang pembahasan nasakh di bidang fiqih. Tujuan saya memaparkannya sekedar untuk memberikan ilustrasi tentang betapa kita perlu berhati-hati dalam mensyi’arkan hadits-hadits hukum karena potensi polemik-polemik terkait sejauh mana dalil tersebut masih harus diterapkan. Bukan dalam rangka mengabaikan larangan atau perintah di dalamnya, tapi lebih pada mengajak semua pihak untuk selalu mengkonsultasikan dulu atau mencari tahu lebih banyak tentang status penerapan suatu dalil sebelum mendakwahkannya. Kita masih mungkin salah meski sudah mencari, namun semoga itu dipandang Allah sebagai bagian dari “ijtihad” kita, atau setidaknya sebuah bentuk jihad dalam menuntut ilmu.

Bagaimana pun, saya tetap menyarankan kepada semua bahwa ketimbang menyebarkan 1-2 hadits yang kita belum tentu tahu benar status fiqihnya, sebaiknya kita lebih banyak merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang berilmu luas saja. Merekalah yang lebih paham dan lebih mungkin menimbang suatu dalil dengan semua perangkat metode fiqih yang telah dirumuskan berabad-abad lalu. Pegang saja fatwa mereka. Bila kita bersikukuh ingin “kembali ke al Quran dan as Sunnah” di atas pemahaman kita sendiri, pastikan membekali diri dengan berbagai ilmu yang dibutuhkan untuk berfatwa.

Saya mendengar bahwa jaman dahulu, perlu hapal puluhan atau ratusan ribu hadits beserta rantai periwayatnya untuk dapat mengemukakan sebuah pendapat hukum syari’at.

*Diolah dari berbagai sumber, hampir tidak ada pemikiran asli saya sendiri*