Mengaji tanpa menggunakan referensi kitab sebagai materi yang dibacakan sama halnya belajar tanpa ada sumber belajarnya. Ngaji modelnya hanya tabligh akbar (pengajian umum) sama halnya menempuh pendidikan tinggi yang isinya kuliah umum semata. Apa ngaji semacam itu bisa menghasilkan muslim terpelajar? Agaknya tujuan itu sulit diwujudkan. Pemahaman dan sikap umat Islam sekarang yang puritan, eksklusif, dan merasa paling benar sendiri bisa dijadikan indikator nilai minus hasil ngaji seperti itu.
Sah-sah saja sesekali komunitas muslim menyelenggarakan tabligh akbar atau ceramah umum. Biasanya kegiatan ini diadakan dalam momentum tertentu seperti peringatan Maulid, Tahun baru Islam dan peringatan hari besar lainnya. Tujuannya untuk mempererat tali silaturrahim di antara anggota komunitas pengajian, sekaligus menambah wawasan –termasuk hiburan, melalui ceramah dai kondang.
Peran dai kondang tak ubah seperti santri pengembara di masa awal Islam masuk nusantara. Dia pintar membawakan materi yang biasa diulang-ulang untuk “diceritakan” kepada khalayak. Ia belum tentu seorang yang alim, tapi karena sering mengulang-ulang sehingga terkesan seorang da’i itu menjiwai alur bahasan.
Satu dalil bisa ia uraikan dengan beragam contoh kehidupan dalam durasi ceramah yang panjang dan berjam-jam. Bisa serius, bisa juga tertawa-tawa sebab ia menjiwai pertunjukan ceramah agama. Namun ada yang perlu dicatat, seorang da’i tidak pernah melalukan evaluasi dan penilaian atas apa yang disampaikan kepada jamaah. Habis ceramah langsung undur diri: Dimengerti, syukur! Tidak diingat lagi isi ceramahnya, itu sudah biasa!
Cara dakwah semacam itu beda dengan metode “kiai mandito”, yakni kiai pesantren dan kiai-kiai lainnya yang biasa mengajar duduk bersila. Kebiasaan mereka mengajar menggunakan referensi kitab kuning menyebabkan ceramahnya tampak serius dan syarat isi materi. Ketelatenan kiai mandito inilah yang membuahkan hasil belajar tuntas, yang dibuktikan berupa kebisaan baca tulis al-quran, pemahaman dan pengamalan ibadah yang tertib, serta kebiasaan yang menjunjung tinggi keluhuran budi pekerti. Kiai mandito tidak hanya mengajar, tapi juga melakukan evaluai dan penilaian para murid dan santrinya.
Sayang, masing-masing kegiatan ngaji itu mengalami disfungsi. Ngaji atau menjadi aktivis majelis berubah menjadi ajang agitasi dan provokasi. Anak-anak muda belia aktif hadir dalam kegiatan pengajian, tapi mereka tidak membawa kitab. Mereka justru membawa bendera yang jauh hubungannya dengan pengajian. Mereka lebih banyak menggunakan tempat terbuka untuk ngaji dibadingkan di masjid atau musala sebab tidak paham antara fungsi ngaji dengan fungsi tabligh akbar. Para penceramah sulit dibedakan antara bermaksud mengajak dengan mengejek, antara membimbing dengan menggiring, antara bertausiyah dengan ber-siyayah. Akibatnya, umat Islam sekarang mudah tersulut dan terhasut.