Hasan Mustapa, Dangding Mistis ‘Haji Mahiwal’

Hasan Mustapa, Dangding Mistis ‘Haji Mahiwal’

Hasan Mustapa, Dangding Mistis ‘Haji Mahiwal’
HISTORIA.ID

Catatan tentang ulama Pasundan, menempatkan Haji Hasan Mustapa sebagai referensi penting. Meski ia sering dianggap sebagai haji ‘mahiwal’, atau kontroversial, namun karya sastra yang dianggitnya, mempesona banyak peneliti.

Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1825, di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Pada masa kecilnya, ia sudah menunaikan ibadah haji, bersama ayahandanya Mas Sastramanggala. Umur 9 tahun, Hasan Mustapa menziarahi Makkah-Madinah untuk beribadah haji, mengunjungi makam Rasulullah.

Kecintaan pada ilmu, menjadikan Hasan Mustapa betah mengaji di pesantren. Ia berkelana ke beberapa pesantren, di Tatar Sunda, Jawa dan Madura. Kemudian, Hasan kembali ke tanah Suci untuk belajar dengan beberapa syaikh, sekitar 8 tahun dan menuntaskan ilmu-ilmu agama, hingga ia mengajar. Di Makkah, ia berguru kepada Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mustafa al-Afifi, Syaikh Abdullah al-Zawawi, Hasballah, dan Syaikh Bakar as-Satha.

Hasan pulang ketika terjadi perselisihan para ulama di Garut, ia bertandang untuk menyelesaikan persoalan dan sengkarut. RH Muhammad Musa, memanggil Hasan Mustapa untuk pulang ke Garut agar perpecahan di antara ulama dapat terselesaikan. Selanjutnya, Hasan mengajar di Masjid Agung Garut selama sekitar tujuh tahun.

Hasan Mustapa merupakan kawan dekat orientalis Snouck Hurgronje, yang ia kenal semasa belajar di Arab Saudi. Atas rekomendasi dari Snouck, Hasan direkrut oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi Hoofd Penghoeloe (kepala penghulu) Aceh. Hasan kemudian mendapat penugasan sebagai Hoofd Penghoeloe di Bandung, sampai masa pensiun dari jabatannya pada 1910-an.

Sebagai ulama, Hasan dikenal dengan keluasan ilmu dan pandangan-pandangannya tentang perselisihan terkait hukum Islam. Ia juga masyhur sebagai sastrawan, yang menulis dangding. Dalam sastra Pasundan, danding atau guguritan merupakan jenis puisi klasik sebagai tulisan berpola dan melodis. Istilah dangding, digunakan dari pengucapan yang terdengar melodis. Karya sastra ini, juga disebut nyanyian puitis.

Menurut catatan Hawe Setiawan, dangding dapat dimasukkan dalam kategori ‘sajak bermatra’ (metrical verse). Bentuk puisi ini, memiliki aturan baku dengan membatasi tiap-tiap lariknya. Larik-larik dangding, diatur dengan ‘kisi-kisi kematraan’ (metrical grid). Hawe mengungkap betapa menangkap esensi terdalam dari dangding Haji Hasan Mustapa bukan perkara yang mudah.

“Dengan pijakan pada tradisi sastra Sunda, Haji Hasan Mustapa tampaknya meniupkan semacam roh baru pada perkakas persajakan tradisional. Dangding yang lazimnya dimanfaatkan untuk mewadahi kisah atau uraian mengenai suatu perkara, seperti yang sering kita dapatkan dalam wawacan, dijadikan sebentuk nampan puitika yang mewadahi pengalaman, penghayatan serta pemahaman HHM sehubungan dengan mistisme Islam,” tulis Hawe Setiawan, dalam esainya Dangding Mistis Haji Hasan Mustapa (Kalam 28/2016).

Hasan Mustapa menulis lebih dari 10.000 bait dangding, yang kualitas sastranya tinggi dan diapresiasi oleh beberapa pengkaji sastra. Karya-karya ini sering membahas dimensi tasawuf, suluk, terutama mengkaji hubungan antara Hamba (kaula) dan Tuhan (Gusti).

Dangding karya Hasan Mustapa, di antaranya: Dumuk Suluk Tilas Tepus, Sinom Pamak Nonoman, Amis Tiis Pentil Majapait, Kinanti Kulu-Kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Puyuh Ngungkung Dina Kurung, Hariring nu Hudang Gering, Sinom Wawarian, Asmarandana nu Kami, Dandanggula Sirna Rasa. Hasan Mustapa juga menulis beberapa karya, yakni: Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana ti Eta (1913), Leutik Jadi Patelan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan (1916), Pakumpulan atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925), dan beberapa karya lain.

Di Jawa Barat, Haji Hasan Mustapa dikenal sebagai ‘Bagawan Sirna di Rasa’. Hasan Mustapa wafat pada 13 Januari 1930. Warisan karya sastra berupa dangding, menjadi referensi bagi para pengkaji naskah Pasundan, dan wawasan spiritual yang disampaikan oleh ulama kontroversial ini. Pada 1977, Hasan Mustapa mendapat Anugerah Seni dari Presiden Republik Indonesia sebagai Sastrawan Daerah Sunda (Munawir Aziz).