Konsep antara tradisi dan pembaharuan dikembangkan oleh Hasan Hanafi (lah. 1935) dalam misinya untuk melakukan reaktualisasi keilmuan klasik dalam tradisi Islam. Karena Islam pada dasarnya adalah agama dinamis dan ajaran-ajarannya selalu berkembang untuk menyesuaikan diri dengan zaman.
Hasan Hanafi memulai eksplorasinya terhadap gagasan reaktualisasi dengan kembali kepada dasar-asar teks. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah sumber tradisi, asas peradaban dan sumber pengetahuan umat sekaligus sebagai faktor pembangkit mayoritas gerakan sosial politik di sepanjang empat belas abad sejarah umat Islam.
Semua gerakan pembaharuan kontemporer sebenarnya lahir dari pemahaman al-Qur’an dengan metode penafsirannya. Oleh karena itu, metode penafsiran baru terkait dengan metode fikih klasik, karena fikih merupakan deduksi hukum dalam menghadapi realitas dan problem-problem baru.
Demikian pula terkait dengan gerakan reformasi keagamaan, yang memperkokoh kekuataanya dan merekonstruksi pembentukan dan perkembangannya. Ia juga merupakan gerakan pembaharuan yang bercita-cita mentransfer reformasi satu langkah lagi dari reformasi keagamaan menjadi kebangkitan universal, kemudian dari kebangkitan universal dengan dampak rasionalitas dan pencerahan menjadi revolusi sosial dan politik.
Sebagaimana dijelaskan di atas, proyek reformasi, reaktualisasi, dan rekonstruksi tradisi keilmuan Islam klasik tidak pernah bisa tercapai tanpa adanya pembentukan sistem teori baru dalam menafsirkan sebuah teks. Karena ini adalah dasar paling pokok dan inti pembaharuan itu sendiri, teks merupakan bagian integral yang harus terlebih dahulu dirumuskan sebelum sampai pada titik tertentu dalam melihat realitas dengan segala problematikanya.
Sehingga, menjadi jelas bahwa batasan untuk sampai pada tataran pembaharuan tradisi Islam harus dimulai dengan menyusun kerangka teoritik yang memadai bagi teori penafsiran itu sendiri.
Hasan Hanafi (2007) menyebutkan beberapa model realitas tafsir dalam tradisi Islam. Pertama, tafsir merupakan bagian dari ilmu-ilmu tradisional seperti Al-Qur’an dan hadis tanpa memiliki prioritas sebagai teori epistemologi yang berlandaskan pada wahyu, karena tafsir merupakan logika wahyu.
Kedua, tafsir tradisional berkutat di sekitar komentar-komentar, tafsil-tafsil ( penjelasan) dan bagian-bagian yang tidak ada urgensinya, yang tidak memperhatikan, makna-makna teks independen maupun kondisi-kondisi kontemporer umat.
Ketiga, tafsir didominasi oleh logika bahasa untuk mendeduksi makna-makna dari teks-teks dengan bantuan asbabun nuzul tanpa menggunakan intuisi langsung teks untuk memahami makna yang jelas secara langsung dengan menunjuk kepada pengalaman hidup kontemporer.
Keempat, kelemahan-kelemahan upaya tafsir modern, karena lebih diarahkan kepada dimensi-dimensi dogmatis-teologis dibandingkan dimensi-dimensi manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan alam.
Berdasarkn realitas di atas, Hanafi kemudian menghadirkan sebuah pembacaan baru terhadap realitas teks. Ia berpendapat bahwa cara penafsiran baru terhadap teks merupakan daya kreatifitas yang harus sepenuhnya dilakukan.
Hanafi juga menunjukan bahwa daya kreasi terhadap teks harus dilakukan melalui teks-teks klasik, karena ini merupakan keniscayaan agar tidak terputus dari konteks sejarah.
Oleh karena itu, membaca teks merupakan metode utama dalam proyek pembaharuan dan menentukan fleksibilitas pemikiran. Dalam pembacaan selalu terjadi interaksi antara yang lama dengan yang baru, antara kreator dan zamannya, sehingga lahirlah kreasi-kreasi yang tak berkesudahan dan tercapailah kesatuan umat dalam sejarah.
Hanafi secara khusus merumuskan antara konsep “sejarah” dan “kebenaran” dengan menentukan di mana sebenarnya posisi sejarah dalam kebenaran, dan menunjukan di mana posisi kebenaran dalam sejarah.
Hanafi kemudian mempertanyakan secara mendasar posisi metode Islam asli, yang tercermin dalam fondasi-fondasi pemahaman ilmu ushul fikih, yang juga ditemukan dalam sejarah ilmu-ilmu keagamaan. Sehingga, Hanafi seakan-akan memutar balik persoalan sejarah dan kebenaran melalui rumusan teori tafsirnya. Hal ini secara langsung juga menentukan bagaimana sifat sejarah itu sendiri dengan membawa relevansinya pada era kekinian.
Dari landasan historis di atas, Hanafi berupaya mengelaborasi paradigma iniversalistik dengan mengedepankan gagasan reaktualisasi tradisi keilmuan Islam. Bagi Hanafi, rekonstruksi itu selain merupakan keharusan sejarah, juga tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama.
Rekonstruksi dimaksudkan Hanafi untuk mentranformasikan ancaman-ancaman baru yang datang di dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia Islam terhadap kemerdekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobolisasi masa.
Hanafi tidak mencita-citakan gerakan intelektual sebagai sebuah aliran baru dalam Islam. Rekonstruksi tradisi dan revitalisasi khazanah klasik adalah upaya untuk mengelaborasi seluruh pemikiran alternatif yang pernah ada dalam sejarah umat Islam. Rasionalisme menjadi pijakan gerakan intelektualnya, tekanan diberikan kepada kemampuan individu untuk mengubah jalan hidupnya sendiri dengan kemampuannya sendiri.
Karena itu pula, sisi revolusioner pemikiran Hanafi lebih tepat disebut sebagai ideologi revolusioner. Dengan demikian, gagasan reaktualisasi keilmuan Islam adalah sebagai gerakan intelektual yang telah kukuh secara historis. Hanafi bercita-cita mewujudkan gagasannya, yaitu reaktualisasi keilmuan Islam ini, diorientasikan dan diarahkan kepada perubahan transformatif.
Rohmatul Izad. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM, Ketua Pusat Studi Islam Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.