Seseorang yang mengalami kegagalan bisa saja beralasan bahwa ia tak perlu lagi berusaha karena kegagalannya sudah menjadi takdir Allah. Seseorang yang menjadi pengusaha bisa saja beralasan tak ingin berdakwah karena ia merasa sudah ditakdirkan menjadi seorang pengusaha. Seorang pencuri pun bisa saja berdalih bahwa tindakannya mencuri barang-barang milik orang lain juga merupakan suatu takdir. Lalu benarkah semua itu karena sudah ditakdirkan oleh Allah?
Kata ‘takdir’ seringkali digunakan oleh manusia untuk beralasan untuk tidak melakukan yang terbaik bagi dirinya. Kata ‘takdir’ juga seringkali menjadi alasan manusia apabila ia melakukan suatu keburukan dan enggan merubah keburukan tersebut. Dengan pandangan yang salah, mereka merasa apa yang mereka lakukan dan apapun yang terjadi sudah menjadi kehendak Allah. Akibatnya, mereka menganggap manusia tidak memiliki pilihan untuk mengarahkan hidupnya karena sudah ditentukan sejak awal dan manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Benarkah demikian?
Kebenaran tentang takdir dapat ditemukan di banyak ayat Alquran. Sebagaimana ayat berikut ini, “…Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Q.S. Ali Imran: 83)
Ayat tersebut memang mengisyaratkan bahwa segala sesuatu di alam semesta dengan sukarela atau tidak, pasti akan tunduk kepada nasib yang ditetapkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, tidak ada yang bisa melawan kehendak-Nya. Sehingga setiap peristiwa harus berjalan seiring takdir yang telah Allah susun. Tidak ada yang bisa bertentangan dengan kehendak, persetujuan atau perintah Tuhan.
Meski demikian, hidup adalah ujian bagi manusia dan manusia akan diadili atas perbuatan dan tindakannya di akhirat kelak. Sebagaimana Allah berfirman, “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)
Dengan kata lain, manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Di samping itu, manusia juga menjalani berbagai ujian-ujian dalam kehidupan. Islam sebenarnya sangat menekankan upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga Allah telah memberi manusia kehendak bebas untuk memimpin hidup sesuai dengan keinginan manusia. Namun hasil dari setiap tindakan yang dilakukan manusia telah diatur sesuai kehendak Allah.
Allah berfirman, “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An-Najm: 39-42)
Terkadang ada orang-orang memprotes bahwa jika Allah mengendalikan takdir, mengapa Allah membiarkan pembantaian orang-orang yang tak bersalah, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya? Allah membiarkan tragedi dan kesengsaraan terjadi di dunia dengan alasan alasan tertentu. Misalnya saja, bisa saja musibah tersebut menjadi ujian bagi orang-orang yang mengalaminya atau menjadi suatu bentuk penghapus dosa.
Sebagaimana Allah berfirman dalam ayat berikut, “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)
Sekali lagi, manusia wajib berusaha untuk menjalani kehidupan dengan baik. Manusia harus melakukan usaha tersebut untuk mengoptimalkan hidupnya. Namun pada saat yang bersamaan, manusia harus menyadari bahwa kekuatan dan domain Allah jauh lebih besar. Meski demikian, bukan berarti manusia harus berpasrah begitu saja dan menyerah kepada takdir tanpa melakukan usaha apapun.
Wallahu a’lam.