Salah satu prinsip yang dianut oleh muslim garis keras atau yang disebut juga dengan kaum jihadis belakangan ini adalah kewajiban untuk memusuhi serta memerangi setiap muslim yang tidak menjalankan ajaran Islam secara kaffah menurut perspektif mereka. Salah satu literatur mereka menyebutkan bahwa termasuk dalam penyempurna keimanan memusuhi serta memerangi setiap orang yang pernah melakukan dosa besar. Sehingga muslim yang tetap bersahabat atau menjalin hubungan baik dengan pelaku dosa besar, mereka anggap sama bejatnya dengan mereka (pelaku dosa besar) sehingga wajib juga dimusuhi dan diperangi.
Ada beberapa dalil yang mereka gunakan untuk memperkuat ideologinya. Salah satu di antaranya adalah Q.S. Nuh : 26-27 yang berbunyi :
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا، إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
“Nuh berdoa : Wahai Tuhanku, jangan engkau biarkan orang-orang kafir itu bertempat tinggal di muka bumi. Sesungguhnya jika Engkau membiarkan mereka, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak pandai berterima kasih”.
Beberapa ayat senada dengan ayat tersebut, seperti Q.S. Al-Zumar : 3, Q.S. Al-Mukminun : 106, Q.S. Luqman : 13, Q.S. al-Baqarah : 254, al-Zumar : 8, Q.S. Ibrahim : 30, Q.S. al-Mumtahanah : 4, dan al-Kafirun : 1-2 tidak ketinggalan mereka jadikan argumen untuk memperkuat paham ekstrim mereka.
Selain itu, mereka juga berdalil dengan sebuah riwayat yang menceritakan sikap Saydina Abu Bakar yang memerangi para muslim yang enggan mengeluarkan kewajiban zakat pada masa kekhalifahannya. Meskipun awalnya rencana beliau sempat ditentang oleh sebagian sahabat yang lain, seperti Saydina Umar dan lain-lain, namun akhirnya keputusan itu tetap dijalankan. Peristiwa tersebut oleh kaum jihadis dianggap sebagai ijmak sahabat yang harus dijalankan oleh seluruh umat Islam hingga sekarang. Bagi siapa yang tidak mengindahkannya, maka otomatis mereka cap sebagai kafir karena telah melanggar ijmak sahabat.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara memahami kandungan ayat-ayat di atas? Apakah benar ayat tersebut bisa dijadikan dalil untuk bersikap keras dan ekstrim terhadap para pelaku dosa besar? Kemudian bagaimana pula kualitas riwayat yang menceritakan kisah Abu Bakr yang memerangi para pembangkang zakat di atas? Dan bagaimana pula dengan pemahamannya.? Apakah benar hukum bunuh bisa diterapkan secara serampangan oleh setiap muslim ketika melihat saudaranya sesama muslim telah melakukan dosa besar.? Tulisan sederhana ini akan mencoba untuk menguraikan beberapa pertanyaan tersebut.
Pertama, terkait dengan ayat-ayat di atas sebagian besarnya berbicara tentang perihal orang-orang kafir yang tidak pernah menyatakan rasa imannya sama sekali kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Misalnya saja Q.S. al-Kafirun : 2-3, ayat ini sama sekali tidak memerintahkan umat Islam untuk bersikap keras kepada muslim yang pernah melakukan dosa besar. Ayat ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak kitab-kitab tafsir, menjelaskan tentang sikap tegas Nabi ketika menolak ajakan kaum kafir Quraisy untuk menyembah tuhan mereka selama satu tahun dan setelah itu mereka juga akan menyembah Allah Swt selama satu tahun.
Uniknya ketika menafsirkan ayat ini, Imam al-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib mengungkap keterpesonaannya terhadap bahasa tolakan Nabi kepada orang-orang kafir tersebut. Lafadz panggilan يا أيها yang bermakna “wahai”, biasanya digunakan untuk panggilan santun dan lemah lembut kepada orang yang dicintai, sebagaimana yang biasa digunakan al-Qur’an untuk memanggil para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman. Namun dalam hal ini, Nabi berdasarkan wahyu dari Allah Swt tentunya, memanggil mereka dengan panggilan yang sangat halus dan sopan. Ini adalah sisi kelemah-lembutan yang dicontohkan langsung oleh Nabi Saw, meskipun kepada orang non muslim sekalipun.
Kalau direnungi lebih dalam lagi, semua ayat-ayat suci al-Qur’an pada dasarnya bersumber dari Allah Swt, baik lafadz ataupun maknanya. Artinya ayat pertama dari Surah al-Kafirun tersebut juga termasuk salah satu dari ayat-ayat Allah yang Ia wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Sehingga dalam hal ini, dapat dipahami bahwa anjuran untuk berkata lemah lembut dan sopan kepada mereka yang non muslim sekalipun itu sebenarnya merupakan perintah langsung dari Allah Swt yang kemudian diaplikasikan oleh Rasulullah dalam keseharian beliau. Hal ini juga diperkuat oleh dalil-dalil lain seperti Q.S. Ali ‘Imran : 159, Q.S. al-Nahl : 125, Q.S. al-Anbiya’ : 107, Q.S. al-Taubah : 128, dan banyak ayat lainnya.
Mafhum mukhalafah-nya adalah jika terhadap non muslim saja Allah dan Rasul-Nya bertutur dengan begitu sopan dan lembutnya, apalagi kepada mereka yang sudah muslim sedari awal, tentu akan lebih lembut lagi. Ini jika kita masih mau membuka mata untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dari sisi-sisi kebahasaannya. Apalagi kalau kita gali secara komprehensif nan mendalam dari berbagai sisi dan sudut pandang, sudah barang tentu kesan keras yang dicerminkan oleh kaum jihadis terhadap orang yang berbeda dengan mereka, termasuk dengan sesama muslim sekalipun, dengan sendirinya akan tertolak dan terbantahkan.
Begitu juga dengan ayat Q.S. Nuh : 26-27 di atas. Said Hawwa dalam tafsirnya al-Asas fi al-Tafsir mengutip sebuah riwayat yang menjadi sababun nuzul dari ayat tersebut. Ketika Nabi mengajak para sahabat untuk bermusyawarah bersama terkait sikap apa yang sebaiknya mereka ambil untuk para tawanan perang Badar waktu itu, lantas Umar memberi usul agar mereka dibunuh saja karena telah mengingkari ajaran Nabi Muhammad Saw. Lalu Nabi menjawab, “sesungguhnya kebijakan engkau wahai Umar sama seperti kebijakan yang pernah diambil oleh Nabi Nuh dahulu ketika berdoa keburukan untuk kaumnya yang kafir”.
Imam al-Razi menjelaskan dalam tafsirnya tentang alasan kenapa Nabi Nuh berdoa seperti itu. Sebagaimana yang diketahui bahwa Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya kurang lebih selama 950 tahun lamanya. Dalam rentang waktu itu, hanya beberapa orang yang mau dan menerima ajakan dakwah beliau, sebagian besarnya engkar dan bahkan menganggu kaumnya yang sudah beriman. Hingga akhirnya Nabi Nuh diberi wahyu oleh Allah kalau mereka tidak akan pernah beriman kepadanya kecuali beberapa orang saja (sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Hud : 35) dan akhirnya beliaupun berdoa agar Allah menghancurkan orang-orang yang engkar tersebut supaya mereka tidak mempengaruhi kaumnya yang sudah beriman.
Kalau ditinjau dari pendekatan sababun nuzul dan juga konteks dari masing-masing ayat yang mereka jadikan dalil, sepertinya ayat-ayat tersebut tidak cocok dan bahkan tidak nyambung sama sekali dengan ideologi yang mereka gembar-gemborkan, yaitu kewajiban untuk memerangi orang-orang muslim pelaku dosa besar. Jangankan untuk memerangi muslim, untuk memerangi non muslim sekalipun ayat itu jelas tidak cocok karena ayat-ayat tersebut turun dalam situasi perang, bukan dalam situasi damai sebagaimana adanya saat ini. Sehingga berdalil dengan ayat itu untuk memerangi semua non muslim otomatis tertolak.
Sedangkan Riwayat Saydina Abu Bakr yang memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat pada masa kekhalifahannya merupakan riwayat yang masyhur dan diriwayatkan oleh hampir sebagian besar ahli hadis. Imam al-Suyuthi dalam Jami’ al-Ahadits-nya mencatat bahwa riwayat tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Hibban, al-Baihaqi, dan Abd al-Razzaq dalam karyanya masing-masing. Sebagian besar mereka menilai bahwa riwayat tersebut berstatus sahih karena semua perawinya kredibel (adil dan terpercaya), sanadnya ittishal (nyambung) tanpa ada syadz dan illah (kejanggalan dalam sanad yang membawanya menjadi riwayat yang lemah).
Namun persoalan kaum jihadis dalam berdalil adalah mengambil teks tanpa memperhatikan konteksnya. Mereka mengamalkan dalil yang secara teks mendukung ideologi radikal mereka tanpa menghiraukan faktor-faktor lain yang menyebabkan munculnya teks tersebut. Imam Ibn Hajr dalam Fath al-Bari-nya menjelaskan bahwa alasan Saydina Abu Bakr memerangi mereka adalah karena mereka menolak dan bahkan memberontak kepada pemerintahan Abu Bakr ketika beliau bermaksud untuk mengambil zakat dari harta mereka. Sehingga karena pemberontakan itulah akhirnya Saydina Abu Bakr memutuskan untuk memerangi mereka, bukan semata-mata karena keengganan mereka untuk membayar zakat. Allahu A’lam