Sebagian umat Islam yakin bahwa Islam harus ditegakkan dengan perang. Umat Islam dalam keadaan mundur. Satu-satunya solusi kemunduran adalah kembali kepada metode para pendahulu yang saleh. Mereka mendapatkan kemuliaan di dunia dengan menguasai dunia dengan menghunus pedang. Kekalahan umat Islam, menurut mereka, adalah karena umat meninggalkan jihad dalam arti perang. Karena itu, semangat berperang umat Islam harus kembali dinyalakan. Untuk membangun keyakinan ini mereka mengutip hadis-hadis Nabi saw. yang secara tekstual menunjukkan bahwa umat Islam akan perang hingga akhir zaman. Imam Muslim meriwayatkan,
لن يبرح هذا الدين قائماً يُقاتلُ عليه عصابة مـن المسلمين حتى تقوم الساعة
“Agama ini akan selalu tegak, karena akan berperang untuknya sekelompok Muslim hingga datang kiamat” (HR. Muslim)
Hadis tersebut secara tekstual menunjukkan bahwa akan ada orang-orang Islam yang berperang di setiap zaman hingga kiamat tiba. Ini berarti bahwa jihad tidak akan pernah dan tidak boleh berhenti dalam kehidupan umat Islam. Umat Islam tidak boleh berpaling kepada metode lain untuk memperjuangkan agamanya. Mereka harus menggunakan jihad-perang sebagai satu-satunya metode perjuangan yang terbukti sukses membawa kemajuan umat Islam generasi terdahulu.
Hadis tentang Muslim perang hingga kiamat diriwayatkan dalam banyak kitab hadis: Sahih Muslim, Musnad Ahmad, dan Musnad Abu Ya’la. Dalam Sahih Muslim, hadis tersebut berada dalam Bab Qaulihi Sallallahu Alaihi Wa Sallam La Tazalu Thaifah Min Ummati Zhahirin Ala Al-Haqq La Yadhurruhum Man Khalafahum (Bab Ucapan Nabi saw. Selalu ada kelompok umatku yang menang di atas kebenaran, tak membahayakan mereka orang-orang yang melawannya). Hadis ini berbicara tentang kelompok dalam umat tubuh umat Islam yang akan selalu memperjuangkan agamanya. Jika hadis ini berbicara tentang kelompok pejuang agama, lalu siapa yang dimaksud hadis tersebut? Apakah hanya mereka yang berperang? Apakah semua umat Islam harus berperang?
Imam Al-Nawawi (w. 676 H.) menyebutkan beberapa pendapat tentang siapa kelompok pembela agama tersebut. Al-Bukhari (w. 256 H.) berpendapat bahwa kelompok tersebut adalah para ulama (ahlul ilmi). Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.) berpendapat kelompok tersebut adalah ahli hadis. Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H.) berpendapat bahwa maksud Imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan orang-orang yang berpegang kepada keyakinan Ahli hadis. Menurut Al-Nawawi, sangat mungkin yang dimaksud kelompok pembela agama dalam hadis terdiri dari banyak kelompok di kalangan umat Islam.
Al-Nawawi menyebut beberapa kelompok yang potensial menjadi thaifah pejuang tersebut. Pertama, kelompok yang berjuang dengan cara berperang. Mereka adalah para pahlawan pemberani. Kedua, para ahli hukum agama (fuqaha). Ketiga, para penghafal dan ulama yang menaruh perhatian tinggi pada hadis-hadis Nabi saw. Keempat, para ahli ibadah yang menjauhi perkara duniawi (zuhhad). Kelima, pejabat hisbah yang bertugas melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Keenam, kelompok muslim lain yang melaksanakan kebajikan. Al-Nawawi juga memahami bahwa kelompok pejuang tersebut bisa jadi tersebar di seluruh dunia, tidak berkumpul dalam satu tempat (Syarah Shahih Muslim, jilid 13, hlm. 66-67)
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud kelompok pejuang agama bukan hanya orang-orang yang berperang. Sekalipun dalam teks hadis disebut kata “yuqatiluna” yang berarti memerangi, Al-Nawawi tidak selalu memaknai dengan perang dalam arti perang fisik yang berisi “bunuh-membunuh”. Para ulama, ahli ibadah, dan tentara berada dalam barisan yang sejajar sebagai pejuang agama. Mereka bisa semua bisa berjuang memajukan agama. Tidak harus selalu berada di satu tempat atau satu zaman, di medan perang hari ini misalnya. Apakah pendapat para ulama di atas yang memaknai “memerangi” tidak bertentangan dengan pengertian tekstual hadis yang menggunakan kata “yuqatiluna” yang berarti perang fisik yang di dalamnya terjadi perbuatan saling bunuh?
“Yuqatiluna” yang berarti “Memerangi” tidak harus berarti “al-Qatlu” yang berarti membunuh. Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H.) mencatat bahwa Al-Syafi’i (w. 204 H.), Al-Baihaqi (w. 458 H.), dan Ibnu Daqiq Al-Id (w. 702 H.) adalah di antara sekian ulama yang menolak penyamaan memerangi dan membunuh. Memerangi tidak selalu membunuh. Al-Syafi’i mengatakan bahwa “Al-Qital” (memerangi) bukan berasal dari kata “Al-Qatlu” (membunuh) sama sekali. Terkadang, memerangi seseorang itu boleh, tapi kita tidak boleh membunuhnya (Fath Al-Bari Syarah Sahih Al-Bukhari, jilid 1, hlm. 76).
Di sini, kita jadi tahu bahwa hadis yang dijadikan dalil sebagian kelompok untuk membenarkan ‘perjuangan’ mereka yang menggunakan kekerasan-perang atas nama jihad Islam, sebenarnya memiliki pengertian luas. “Memerangi”, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bisa berarti perjuangan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk memajukan agama. Hal ini seperti yang dilakukan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, khususnya kalangan Ahli Hadis dan Para Ulama Ahli Ibadah (Zuhhad, Sufi). Pengertian semacam ini, tidak menafikan perjuangan orang-orang yang punya kemampuan kemiliteran seperti tentara-tentara Muslim yang niat mereka adalah membela ajaran Islam dan umat Islam.
Arti hadis, dengan demikian, kelompok yang berjuang membela kebenaran ajaran Islam akan ada hingga kiamat tiba. Mereka terdiri dari banyak kelompok di kalangan umat Islam. Memonopoli dengan mempersempit penafsiran hadis hanya pada “Orang-orang yang berperang dan membunuh” adalah kesombongan belaka.
Jauh dari kebenaran jika dikatakan bahwa Muslim harus terus memerangi dan membunuh hingga kiamat tiba. Terlebih jika sasaran perang dan pembunuhan adalah sesama umat Islam. Membunuh umat Islam adalah dosa besar yang pelakunya diancam dengan neraka. Barangsiapa membunuh mukmin secara sengaja, balasannya adalah neraka jahannam, ia abadi di dalamnya. Allah memurkainya dan melaknatnya. Dia menyiapkan siksa yang besar untuknya (Qs. Al-Nisa: 93). Dalam kenyataannya, kelompok yang mengkampanyekan Muslim harus perang untuk menegakkan agama seringkali memusuhi dan membunuhi umat Islam sendiri. Wallahu A’lam.