Pada 8 Maret di setiap tahun, dunia memperingati International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional. Jika tahun lalu tajuk yang diusung adalah #BreakTheBias, maka di tahun ini tajuknya adalah #EmbraceEquity. Lewat tagline ini, seluruh umat manusia diajak untuk merefleksikan soal dunia yang penuh dengan keragaman. Untuk menciptakan sistem sosial yang ideal, diperlukan sikap yang adil dan inklusif dalam mengelola keragaman itu. Salah satunya adalah adil gender. Hal ini berangkat dari keresahan soal marginalisasi dan stigmatisasi kaum perempuan yang hingga saat ini masih belum menemui titik terang.
Sejarah Hari Perempuan Internasional
Jauh sebelum ada peringatan ini, kaum perempuan sudah berjuang agar hak dan eksistensi perempuan tidak dipandang sebelah mata. Menurut Temma Kaplan, peneliti sejarah perempuan Universitas Harvard, Hari Perempuan Internasional ini bermula dari unjuk rasa buruh perempuan pabrik tekstil di New York pada 1857.
Setelah 50 tahun berlalu, tepatnya tahun 1907, sekitar 15 ribu buruh pabrik tekstil mengulang demonstrasi serupa di New York, Amerika Serikat. Mereka menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih tinggi, dan hak memilih dalam pemilu. Berangkat dari berbagai unjuk rasa itu, pada 28 Februari 1909, Partai Sosialis AS yang dimotori Theresa Malkiel mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional di Amerika Serikat sebagai peringatan kebangkitan suara perempuan di AS.
Setahun kemudian, pada 1910, organisasi partai buruh dan sosialis, The Second International, menghelat Konferensi Perempuan Internasional di Copenhagen, Denmark. Dalam konferensi itu, tokoh sosialis Jerman, Luise Zietz, mengusulkan peringatan Hari Perempuan Internasional karena terinspirasi dari gerakan Theresa Malkiel di Amerika Serikat. Idenya didukung oleh Clara Zetkin, ketua konferensi tersebut, meski tanggalnya belum ditentukan. Akhirnya, pada 1911, Hari Perempuan Internasional diperingati tanggal 19 Maret di Austria, Jerman, Denmark, dan Swiss.
Pada 1975, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengakui Hari Perempuan Internasional dan pada 1977 mendorong negara-negara anggota untuk merayakannya. Namun, tanggalnya diubah menjadi 8 Maret. Mengapa demikian?
Sebelum tanggal ditetapkan oleh PBB, ada dua opsi tanggal; 8 Maret atau 19 Maret. 8 Maret mewakili protes buruh perempuan yang terjadi pada tahun 1857, 1907, dan 1909. Sedangkan 19 Maret 1911 merupakan waktu terjadinya demonstrasi perempuan di beberapa negara di Eropa.
Akhirnya, yang dipilih adalah peristiwa demonstrasi 8 Maret 1917. Selain menjadi hari pertama revolusi Rusia, demonstrasi yang mayoritas diikuti perempuan itu juga menjadi awal mula para perempuan mempunyai hak pilih (women suffrage) di Rusia. Untuk itu, hingga saat ini, Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret setiap tahunnya.
Tajuk #EmbraceEquity
Tajuk #EmbraceEquity serupa dengan semangat para buruh perempuan di New York ratusan tahun lalu itu. Tagline ini mengasumsikan bahwa dunia menawarkan keragaman, namun belum bisa dikelola dengan baik oleh manusia. Penggunaan “equity” (keadilan) alih-alih “equality” (kesetaraan) menunjukkan bahwa relasi ideal antara laki-laki dan perempuan bukanlah semata berbasis kesetaraan, melainkan juga berbasis keadilan.
Lalu, apa bedanya? Sebenarnya, perbedaan kedua konsep tersebut sangat samar. Namun, narasi “adil gender” memiliki konsekuensi yang lebih dalam, karena ia mensyaratkan suatu proses menuju perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Sedangkan “kesetaraan gender” lebih kepada gambaran kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam mendapatkan akses terhadap sumber daya dan memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses hak-haknya sebagai sesama manusia. Keduanya sama-sama membincang kesetaraan, namun “keadilan” tampak bergerak lebih fundamental.
Perempuan di Indonesia
Sebagai salah satu negara yang memperingati Hari Perempuan Internasional, Indonesia menyimpan sejarahnya sendiri terkait diskursus nama “perempuan” hingga saat ini. Secara bahasa, kata perempuan berasal dari kata empuan yang berarti wanita atau istri raja.
Akan tetapi, kajian lebih dalam mengungkap bahwa kata empuan berasal dari kata empu yang bermakna gelar kehormatan atau orang dengan keahlian, sedangkan puan berarti nyonya atau keperempuanan. Dengan kata lain, perempuan berarti “yang diper-empu-ankan”, atau “yang dihormati”. Karena ia memiliki keahlian, maka ia menjadi yang dipertuankan. Pada dasarnya, Indonesia telah meletakkan landasan filosofis terhadap sosok perempuan di Indonesia. Kata perempuan tidak saja berarti wanita, tetapi juga tuan, ibu, nyonya yang harus dihormati.
Dalam konteks Indonesia, sosok “Theresa Malkiel” itu ada dalam diri R.A. Kartini. Perjuangan gerakan kebangkitan perempuan itu kemudian dirayakan setiap tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Serupa dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, Hari Kartini juga menjadi momentum bagi bangsa Indonesia, khususnya untuk merefleksikan sejauh mana perempuan telah berpartisipasi dan berkontribusi dalam pelbagai dimensi kehidupan bangsa dan negara.
Refleksi ini dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan, keadilan, saling mendukung, dan saling menghormati hak masing-masing sebagai manusia. Refleksi ini juga bisa dibawa untuk mengukur bagaimana partisipasi perempuan di ruang publik di penjuru dunia. Dengan demikian, kata kuncinya jelas, yaitu partisipasi.
Dari Emansipasi menuju Partisipasi
Anne Hommes dalam bukunya “Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat” mengatakan bahwa saat ini peranan perempuan seharusnya beralih dari tahap emansipasi menuju partisipasi. Keterlibatan perempuan secara langsung dalam ruang publik dan seluruh dimensi kehidupan manusia menjadi parameter utama dalam melihat manifestasi semangat Hari Perempuan Internasional.
Tentu, partisipasi itu sangat mengandaikan adanya kemitraan (partnership). Semangat “saling mendukung” seperti yang disinggung sebelumnya mensyaratkan hadirnya kerja sama yang sejajar antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki tidak bisa bekerja sendiri, pun juga perempuan. Kemitraan dan kesetaraan itu, menurut Mely G. Tan, Sosiolog Indonesia, merupakan kondisi ketika laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban. Hal itu terwujud dalam kesempatan, kedudukan, dan peranan yang dilandasi sikap dan perilaku saling membantu di semua bidang kehidupan.
Dalam keluarga, misalnya, sebagai sub-sosial terkecil di mana relasi kemitraan dapat terwujud, peran ibu sebagai pengasuh anak bisa dipertukarkan dengan sosok ayah. Hal ini sekaligus men-destigmatisasi beban ganda (double burden) pada sosok ibu. Selama ini, konstruksi sosial terus melekatkan perempuan pada urusan-urusan domestik. Sebaliknya, konstruksi sosial juga selalu mencitrakan sosok laki-laki dengan pekerjaan publik. Sehingga, ketika terjadi perubahan peran, maka seringkali timbul ketegangan antara suami dan istri dalam keluarga.
Oleh karenanya, relasi partnership berfungsi untuk meruntuhkan sekat tebal itu. Ibu tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya pihak yang bisa mengasuh anak dan melakukan aktifitas domestik, namun juga bisa bermitra dengan sosok ayah. Dalam urusan publik pun, sosok ibu bisa sama berkontribusinya dengan sosok ayah. Sehingga, istilah “kepala keluarga” tidak lagi berangkat dari afirmasi satu pihak semata, atau bahkan merujuk pada stigma sosial saja, namun juga melalui kesepakatan dua pihak melalui relasi kemitraan itu.
Tajuk #EmbraceEquity dengan demikian sangat relevan dengan semangat partisipasi ini. Jika hendak dikontekstualisasikan dalam ranah Indonesia, spirit Hari Perempuan Internasional bisa dilihat sebagai upaya mengembalikan harkat dan martabat perempuan sebagai pribadi yang memiliki hak dan kapabilitas yang sama dalam urusan publik. Momen peringatan ini bukan semata untuk meromantisasi perjuangan para buruh perempuan dalam memperjuangkan hak dan eksistensinya, namun sebagai komitmen dunia untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan. [NH]