Hampir selama satu minggu kemarin, media sosial kita disibukkan membaca perdebatan soal salat di Gelora Bung Karno (GBK) yang dilakukan pendukung salah satu Capres-Cawapres. Perdebatan dari soal arah kiblat, hukum sah salat hingga model barisan saf salat Subuh minggu kemarin (7/4) ramai di linimasa dan aplikasi pesan instan. Perdebatan ini hanya pucuk gunung es dari banyak perdebatan di media sosial, kemudian permasalahan tersebut dibawa ke perbincangan di ruang-ruang publik yang akan membuat keriuhan di media sosial.
Perdebatan di media sosial seperti kasus di atas adalah hasil segregasi dua kelompok pendukung calon presiden, yakni Cebong dan Kampret. Perseteruan di media sosial yang melibatkan dua kelompok ini terus mendominasi linimasa media sosial dan pesan instan kita. Entah apapun tema yang diperbincangkan, debat antara dua pendukung ini tidak akan pernah ketemu karena membela atau memuji paslon yang mereka dukung adalah harga mati. Apakah yang sebenarnya didukung atau dibela oleh Cebong dan Kampret ini?
Manusia setengah dewa adalah standar paling minimal yang diharapkan oleh kedua kubu pendukung. Paslon tersebut memiliki kebaikan di tingkat maksimum dan mangkir di ranah kesalahan atau aib, walau dalam posisi sebagai manusia. Pendukung atau lovers selalu mengkomodifikasi semua kebaikan yang akan dilekatkan kepada salah satu kontestan yang mereka percaya bisa membawa kebaikan-kebaikan yang akan kembali kepada mereka.
Sedangkan, haters, antagonis di media sosial sebagai lawan lovers (pendukung/ fans), terus mencari dan mengeksploitasi sisi negatif yang dimiliki oleh calon lawan dan dipercaya mendatangkan keburukan bagi komunitas mereka. Sisi negatif terus ditonjolkan di saat perdebatan hingga mencerca sesuatu yang paling pribadi sekalipun adalah sah untuk menjatuhkan citra calon lawan. Imajinasi liar bisa menjadi amunisi ampuh untuk membangun logika atas kejelekan sang peserta jika isu yang diangkat tidak berhubungan dengan isu esensial dalam pertarungan politik.
Perdebatan Haters vs Lovers jika terus kita ikuti maka yang didapat hanyalah klaim kemenangan di masing-masing kubu, walau standar yang digunakan sering hanya sekadar klaim belaka tanpa didukung data yag valid. Contohnya, setiap debat Pilpres berlangsung kedua kubu pendukung, dalam hal ini Cebong vs Kampret, terus memberikan penjelasan yang berakhir pada klaim kemenangan bagi calon yang mereka dukung, termasuk di media sosial.
Memang, Pilpres di Indonesia masih didominasi pada “jualan” sosok calon, yang mengakibatkan person yang didaulat menjadi harus memiliki “kesempurnaan” adalah hal yang tidak bisa ditawar. Di kondisi tersebut, calon presiden dan wakil presiden harus “dimakeover” atau dipahat demi mendapatkan pesona di masyarakat. Sebagaimana iklan, pesona dan citra yang ditawarkan di publik selalu ada celah yang membatasi antara penampilan dan makna yang sesungguhnya.
Dalam kajian budaya pop, kondisi di atas disebut dengan fetisisme komoditi. Diambil dari bahasa Portugis, fetisisme mendedahkan sesuatu dengan kekuatan atau daya pesona, yang sesungguhnya tidak dimiliki. Singkatnya, fetisisme komoditi adalah fenomena yang di dalamnya seseorang melihat makna sesuatu sebagai bagian inheren dari eksistensi fisiknya, padahal pada kenyataannya makna tersebut diciptakan lewat integrasi ke dalam sistem makna.
Yang perlu kita digarisbawahi dari penjelasan fetisisme adalah makna yang diciptakan dari sistem makna. Jika dihubungkan dalam pertarungan Pilpres yang didominasi dengan jualan sosok, maka calon yang dihadirkan di ruang publik baik lewat fisik dan digital disisipi makna-makna yang diciptakan tergantung dengan kreatifitas dari para tim kampanye masing-masing.
Sosok yang muncul di hadapan publik adalah sosok yang sudah dipoles dan dimaknai dengan proses mistifikasi untuk memuaskan masyarakat, akan calon yang akan dipilihnya. Pribadi tidak lagi muncul seperti apa adanya, ada usaha untuk memuaskan dan menggiring orang pada kesadaran palsu yang akan menggerakkan mereka untuk memilih calon tersebut.
Islam sebagai agama mayoritas yang dianut pemilih di Indonesia, maka makna yang ditampilkan di kedua kandidat sangat didominasi dengan warna Islam. Kondisi ini yang membuat masing-masing kandidat menampilkan diri sebagai paling saleh, Islami, atau lebih spesifik dekat dengan ulama. Semua unsur Islam yang bisa mempengaruhi pemilih muslim dihadirkan di kedua sosok calon presiden dan wakil presiden.
Masing-masing kandidat menampilkan diri sebagai paling Islami ini yang kemudian dikonsumsi dan ditonjolkan oleh para pendukung mereka. Calon yang maju dibela habis-habisan bahkan secara brutal sehingga tidak lagi tersisa sisi kemanusiaan dari kandidat tersebut. urusan paling privat seperti hubungan keluarga, tempat salat jumat, membaca surah atau salawat Nabi, hingga cara menghadapi panggilan salat atau azan dikomodifikasi baik untuk memuji untuk menggiring opini atau menghujat untuk menjatuhkan lawan di mata pemilih.
Padahal, calon presiden dan wakilnya tersebut adalah manusia biasa yang memiliki ruang untuk salah dan khilaf atau mempunyai masa lalu yang kelam. Fandom seperti cebong dan kampret tidak akan melihat hal tersebut, karena bagi mereka adalah calon yang mereka dukung adalah manusia setengah dewa yang tidak memiliki kekurangan apapun dan akan membawa mereka kepada kebahagiaan. Sedangkan lawan adalah manusia penuh dengan kehinaan dan pantas ditempatkan di tempat paling durjana sekalipun.
Anjuran agama untuk tidak menghina orang lain atau perilaku memuliakan saudara muslim seakan diabaikan karena kecintaan para pendukung pada pilihan politiknya masing-masing. Apakah ini akan berhenti setelah proses pencoblosan dan diumumkan siapa pemenang dari Pilpres dan Pemilu nanti? Jawaban singkat saya adalah mustahil. Sebab, kondisi ini akan berhenti jika semua stakeholder yang terkait dalam proses Pemilu dan Pilpres ini mau mendinginkan suasana sedari awal dan berfokus pada persoalan kemanusiaan di negara kita tercinta ini.
Selamat memilih rabu minggu depan dan Hari Jumat Agung dan Minggu Paskah.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin