Sebagai muslim, selama ini saya selalu melihat dunia ini terbagi menjadi dua kutub yang saling bertentangan satu sama lain, saling menyerang dan mencaci dari kejauhan. Kutub media Barat terus membangun framing bahwa Islam adalah teroris, bahwa terorisme hanya dilakukan oleh kelompok Islam, dan bahwa Islam terus menerus dicitrakan sebagai agama yang terbelakang, jauh dari kesetaraan dan keadilan.
Sedangkan di kutub lain ada sebagian kelompok Islam yang terus menerus membangun kebencian kepada kelompok liyan, terutama ketika Islam menjadi mayoritas, seperti di Indonesia misalnya, Islam didengungkan dengan semangat penuh arogansi dan kepongahan sebagai satu-satunya agama yang memiliki hak beribadah, hingga berani menutup, melarang atau bahkan merusak tempat-tempat ibadah kelompok minoritas.
Sebagai muslim, selama ini saya selalu merasa bahwa di Barat, dunia demikian kejam kepada kelompok muslim, sementara di negeri sendiri, atau di negara berpenduduk mayoritas muslim, ada kelompok Islam yang juga demikian beringas kepada kelompok-kelompok minoritas.
Dua kutub itu seakan sulit sekali bertemu, setiap kutub saling menyulut api provokasi yang tak berkesudahan. Bagaikan domino korek api yang tak terputus, menjalar dan membesar membakar setiap ruang-ruang kemanusiaan yang kita miliki bahkan di ruang-ruang yang tak terlihat sekalipun: batin kita sendiri.
Sampai akhirnya berita tentang insiden di Masjid Al Noor di Selandia Baru terdengung, lalu seorang Jacinda Ardern, pemimpin tertinggi dari Negara dengan penduduk mayoritas Kristen dan hampir 40% ateis, tampil dengan kerudung hitamnya, menunjukkan empati dan cinta yang tak berbatas, dengan tegas menyebut pelaku penyerangan sebagai teroris. Lalu dalam sebuah momentum berkabung di Hagley Park di depan Masjid Al Noor yang dihadiri sekitar 20.000 orang pada Jumat (22/3/19) lalu, ia mengutip sebuah hadist Nabi Muhammad:
Prophet Muhammad Shollahu’alaihi wassalam said, “The believers in their mutual kindness, compassion, and sympathy are just like one body. When any part of the body suffers, the whole body feels pain,”
“Orang-orang beriman yang diikat oleh kebaikan, kasih sayang dan simpati, bagaikan satu tubuh. Ketika satu anggota tubuhnya menderita, seluruh tubuh terasa terluka.”
Narasi hadis tersebut bisa dilacak dalam Hadis riwayat Muslim no 2586:
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
Usai menukil hadis tersebut, Jacinda lantas menyatakan: New Zealand mourns with you, we are one. New Zealand berduka bersama kalian, kita adalah satu.
Pidato Jacinda tersebut tak hanya menunjukkan rasa prihatin atas insiden yang menimpa muslim di sana sebagai kelompok minoritas, tapi juga menampilkan wajah dan empati serta cinta yang jauh lebih mulia, bahwa kedukaan yang dialami para korban adalah kedukaan seluruh masyarakat Selandia Baru. Bahwa luka yang dirasakan para muslim yang selama ini dibayang-bayangi intimidasi oleh meningkatnya paham white supremacist dan Islamophobia, juga adalah luka yang dirasakan oleh seluruh masyarakat Selandia Baru lainnya, apapun agama dan keyakinan mereka.
Belum lagi, surat kabar The Press, media harian Christchurch, menjadikan kata salam dalam bahasa Arab sebagai cover penuh sampul mereka pada hari yang sama ketika Jacinda menyampaikan pidatonya. Media massa yang mengambil sikap untuk secara terbuka menggunakan simbol agama Islam yang selama ini dicitrakan mengerikan, menggelitik para pembacanya, atau katakanlah masyarakatnya, untuk menyadari bahwa agama Islam sejatinya adalah agama perdamaian, sebagaimana makna dari Islam atau salam itu sendiri. Ini sekaligus berimplikasi pada ruang kesepahaman agar hubungan antar agama semakin diperkokoh.
Lebih mengharukan pula, ketika masyarakat Selandia Baru tergerak dan berbondong-bondong mendatangi masjid untuk memberikan penjagaan dan rasa aman kepada kelompok muslim ketika beribadah. Di Indonesia, teladan seperti ini bisa kita lihat dari kesetiaan Barisan Serbaguna (Banser) NU, salah satu sayap dalam Ansor yang merupakan badan otonom di bawah naungan Nahdlatul Ulama, yang setiap natal menjaga gereja sebagai bentuk penghormatan dan usaha menciptakan rasa aman.
Meski begitu, saya membayangkan betapa indahnya bila penjagaan semacam itu bisa dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia seperti halnya apa yang kita saksikan di Selandia Baru.
Menyaksikan kerja-kerja empati dan cinta yang ditunjukkan Jacinda, media dan masyarakat akar rumput di Selandia Baru tersebut pada akhirnya menyadarkan saya, dan barangkali kita semua, bahwa tembok kebencian setebal dan setinggi apapun ternyata mampu kita runtuhkan sepanjang kita mengambil langkah yang nyata untuk berempati setulus-tulusnya kepada mereka yang berbeda.
Ketika dunia Islam di dunia tersentuh oleh sikap ksatria yang demikian menggugah yang ditunjukkan oleh Jacinda dan masyarakat Selandia Baru kepada kelompok Islam, bisakah dunia Islam menunjukkan wajah yang sama? Bisakah muslim memberi ruang aman dan nyaman bagi kelompok minoritas untuk meyakini dan mempraktikkan keyakinan dan iman yang berbeda? Bisakah tempat-tempat ibadah yang dipaksa tutup atau dilarang beroperasi, dibuka dengan tangan yang penuh penghormatan? Bisakah tempat-tempat ibadah yang dirusak, dibangun kembali dengan cara-cara yang mulia? Dan bisakah, khutbah-khutbah keagamaan di negeri ini disampaikan dengan bahasa cinta yang memberi ruang aman bagi siapa saja?
Wallahu A’lam.