Wudhu adalah salah satu hal yang harus dilakukan sebelum melakukan shalat. Karena wudhu merupakan sarana untuk membersihkan diri dari hadas kecil, yang mana membersihkan hadas kecil adalah bagian dari syarat sah melakukan shalat. Sehingga tanpa berwudhu, shalat yang kita kerjakan tidak akan sah.
Selain memiliki rukun dan kesunnahan, ada beberapa hal yang dimakruhkan ketika berwudhu. Tentu, karena setiap kali akan melaksanakan shalat kita melakukan wudhu, kita juga perlu mengetahui hal-hal yang dimakruhkan dalam berwudhu.
Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha menjelaskan secara rinci tujuh hal yang dimakruhkan dalam wudhu dalam karyanya yang berjudul Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imam as-Syafi’i sebagaimana berikut:
Pertama, boros dalam menggunakan air atau terlalu sedikit menggunakan air. Hal tersebut dimakruhkan karena bertentangan dengan sunnah.
Hal ini sebagaimana disebutkan bahwa Allah Swt berfirman:
ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين
“Janganlah kalian berperlaku boros, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang boros.”
Kedua, mendahulukan membasuh tangan kiri dari pada tangan kanan, atau mendahulukan membasuh kaki kiri dari pada kaki kanan. Hal ini dimakruhkan karena bertentangan dengan prilaku yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw tentang kesunahan tayamun (mendahulukan anggota kanan).
Ketiga, mengusap anggota wudhu dengan handuk kecuali karena adanya udzur, misalkan karena kedinginan, sehingga jika air wudhu dibiarkan saja mengalir di anggota wudhu kita akan menjadikan kita menggigil dan sakit.
Sebagaimana Rasul Saw ketika beliau diberikan handuk, beliau tidak mau memakainya. (HR. Muslim)
Keempat, memukul wajah dengan air, karena hal tersebut dapat menghilangkan kemulyaan wajah.
Kelima, menambah jumlah basuhan lebih dari tiga kali dengan yakin (yakni bukan karena ragu telah membasuh sebanyak tiga kali atau tidak), atau sebaliknya, malah mengurangi dengan yakin.
Karena Rasulullah Saw pernah bersabda setelah berwudhu sebanyak tiga kali-tiga kali:
هكذا الوضوء فمن زاد علي هذا أو نقص فقد أساء وظلم
“Beginilah cara berwudhu, barang siapa yang menambah atau mengurangi (jumlah tiga kali setiap basuhan) maka dia telah berbuat buruk dan dholim.” (HR. Abu Dawud)
Menguatkan hadis di atas, Imam an-Nawawi dalam Majmu’-nya mengungkapkan bahwa hadis tersebut shahih. An-Nawawi juga mengatakan bahwa siapa yang melanggar hadis tersebut, berarti ia telah melanggar sunnah.
ومعناه أن من اعتقد أن سنة أكثر من ثلاث أو أقل منها، فقد أساء وظلم، لأنه قد خالف السنة التي سنها النبي صلي الله عليه وسلم
“Makna dari hadis tersebut bahwa barang siapa yang berkeyakinan bahwa sunnah adalah membasuh/mengusap lebih dari tiga kali atau lebih sedikit, maka ia telah berbuat buruk dan dhalim. Karena ia telah melanggar sunnah yang telah disunnahkan Nabi Muhammad Saw.”
Keenam, meminta tolong orang lain untuk membasuhkan anggota badan kita tanpa udzur (misalnya karena sakit dan lain sebagainya), karena hal ini merupakan salah satu bentuk takabbur (kesombongan) yang dapat menghilangkan kesan peribadatan.
Ketujuh, terlalu banyak atau berlebih dalam berkumur atau menyerap air ke dalam hidung bagi orang yang berpuasa. Hal ini ditakutkan air masuk kedalam rongga tenggorokan dan membatalkan puasanya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
وبالغ في الإستنشاق الا أن تكون صائما
“Berlebih-lebihlah dalam istinsyaq (menyerap air ke dalam hidung) kecuali ketika kalian sedang berpuasa.”
Selain tujuh hal di atas, Syekh Abdullah bin Abdurrahman Ba Fadhl al-Hadhrami (w. 918 H) dalam kitabnya yang berjudul al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah juga memakruhkan menyela-nyelahi jenggot yang tebal bagi orang yang sedang ihram, karena dikhawatirkan ada jenggot yang rontok setelah disela-selahi.
Namun hal ini dibantah oleh Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam al-Minhaj al-Qawim yang merupakan syarh dari kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah.
ويكره ترك تخليل اللحية الكثة لغير المحرم “وتخليل اللحية الكثة للمحرم” لئلا يتساقط منها شعر وهذا ضعيف والمعتمد أنه يسن تخليلها حتى للمحرم لكن برفق
“Hukumnya makruh jika tidak menyela-nyelahi jenggot yang tebal bagi orang yang non-muhrim (orang yang tidak berihram), juga dimakruhkan menyela-nyelahi jenggot yang tebal bagi muhrim (orang yang sedang ihram), agar rambut jenggot tersebut tidak rontok. Namun pendapat ini lemah. Adapun pendapat yang benar adalah tetap disunnahkan menyela-nyelah jenggot bahkan bagi orang yang ihram, tetapi sebaiknya dilakukan dengan pelan-pelan.”
Hal-hal di atas memang merupakan hal yang makruh saja, yakni walaupun dikerjakan tidak membatalkan wudhu kita. Tetapi, akan lebih baik jika hal-hal yang dimakruhkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas dijauhi dan dihindari agar wudhu kita mencapai kesempurnaan.
Wallahu A’lam.