Agenda New Normal tampaknya benar-benar akan diterapkan di Indonesia. Namun, sejak adanya wacana aturan New Normal, saya cenderung tak sepakat. Penyebabnya angka kurva orang-orang yang positif di Indonesia masih jauh dari kata menurun Di beberapa wilayah, misalnya, beberapa tempat berkumpul seperti pasar atau sejenisnya justru menjadi ruang penularan orang yang positif covid-19. Keadaan ini mulai menakutan kok malah menuju new normal.
Angka-angka tidak membaik setiap harinya. Di sisi lain, ada banyak kejahatan yang tidak bisa dicegah semalam pandemik ini. Pencurian dan kejahatan lainnya terus terjadi. Lalu, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap harinya. Pemecatan karyawa pun terus terjadi. Angkanya tidak membaik sebagaimana kurva angka positif. Semuanya terus meningkat, ‘Di Rumah Aja’ ternyata tidak membuat banyak orang tentram.
Keadaan ini, bagi saya sama menakutkannya. Saya jadi bepikir, apakah saya akan tetap aman jika harus pulang atau keluar malam dalam keadaan ini? Selama ini, kerasnya Jakarta, masih membuat saya aman ketika harus pulang atau keluar malam. Dengan bertambahnya jumlah kejahatan yang terjadi, ini mencerminkan jika banyak sektor yang sangat terkena imbas dari pandemic.
Saya baru saya berkomunikasi dengan beberapa teman yang bekerja di penerbitan dan bagi mereka, saat ini begitu menyesakkan dada. Ada banyak penerbit yang tidak lagi menerbitkan buku baru selama pandemi. Begitu juga pemberhentian karyawan pun harus terjadi untuk efisiensi pengeluaran perusahaan. Penjualan buku tidak begitu baik selama pandemik. Saya harus ulangi, keadaan ini cukup membuat saya takut.
Selama pandemi ada banyak bantuan pemerintah yang turun kepada masyarakat. Namun, bantuan tersebut memang hanya bersifat sementara. Bantuan sembako di banyak daerah hanya diberikan satukali saja, itu pun tidak cukup untuk mencukup kehidupan selama pandemi. Perlu diakui, selama masa pandemic ini ada banyak masyarakat bukan hanya membutuhkan bantuan. Tapi pekerjaan untuk tetap bertahan hidup. Keperluan lainnya masih tetap berjalan dengan normal.
Pemerintah hanya mencukup kebutuhan pangan yang hanya satu aspek dari kebutuhan premier manusia. Bagaimana dengan kebutuhan primer lainnya, seperti sandang dan papan? Kebutuhan sekunder? Lalu kebutuhan kesehatan dan pendidikan? Kebutuhan lainnya saya sederhanakan dengan biaya sekolah, cicilan rumah, cicil kendaraan atau keperluan bulanan lainnya yang harus dicukupi oleh setiap orang. Dengan catatan, pemberiaan bantuan saja tidak cukup untuk masyarakat tetap bertahan di tengah pandemic.
Kita pun perlu mengapreasi dengan kerja pemerintah dan menempatkan diri memutuskan untuk berpihak pada masyarakat miskin. Langkah lainnya, bantuan untuk masyarakat ekonomi kelas menengah masih belum banyak terjadi. Padahal mereka menjadi kelompok rentan selama pandemic ini. Saya perlu mengulangi pendapat saya dalam artikel islami.co beberapa waktu lalu yang menyebutkan jika kelompok ini (masyarakat ekonomi menengah) akan masuk menjadi kelompok miskin jika penanganannya tidak tepat.
Belum lagi dengan pemberitaan pemerintah daerah yang kerap silang pendapat dalam penanganan covid-19. Untuk penanganannya, kita semua butuh gotong royong. Begitu juga dengan bantuan dari pemerintah kepada masyarakat, ada banyak kasus pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran. Bahkan, mungkin saja terjadi korupsi dengan jumlah bantuan yang cukup banyak ini.
Kita perlu merefleksi dan melihat penanganan covid-19 selama 3 bulan di Indonesia. saya berpikir jika pemerintah tidak berfokus pada pencegahan covid-19, baik pencegahan dalam penularan covid-19 atau pencegahan agar dampak dari covid-19 tidak meluas. Ini juga terlihat pada periode bantuan yang hanya berjalan 3 bulan saja. Sedangkan, covid-19 mungkin akan menyerang hingga akhir tahun. Jadi, fokus pemerintah di mana?
Saya melihat fokus pemerintah pada penyembuhan pasien yang positif covid-19. Angka pasien yang positif mencapai 7000 orang lebih dengan metode transfer plasma darah. Ini memang efektif untuk menyembuhkan covid-19. Kita semua perlu mengapreasi hal ini dan kerja dari para medis di Indonesia. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menyambut era new normal untuk Indonesia?
Saya tahu, banyak sekali masyarakat yang kecewa ketika pemerintah pusat yang berbeda dengan negara lainnnya yang sukses dalam penanganan covid-19. Korea dan China mengambil sikap new normal ketika angka positif covid-19 sudah benar-benar tidak ada. Namun, bukan berarti kekecewaan ini membawa kita untuk menjadi acuh pada pemerintahan atau bersepakat untuk menggulingkan presiden yang masih resmi.
Semangat gotong royong pun dari masyarakat sipil masih sangat diperlukan selama covid-19 ini. Kembali saya bertanya, semangat apa yang bisa kita lakukan untuk menyambut era new normal? Semangat memperbaiki infrastrukturi, tapi insfrastruktur ini bukan masalah jalan raya atau tol saja. Misalkan, semangat untuk memperbaiki sanitani atau fasilitas keseharan di sekolah dan perkantoran harus diperbaiki.
Kita tidak menutupi jika fasilitas kesehatan di perkantoran dan sekolah tidak memadai. Penyebaran covid-19 ini bisa diputus dengan hidup sehat. Lalu, apa saja yang perlu diperbaiki lagi?
Tentu saja sistem ketenagakerjaan yang perlu diperbaiki. Selama covid-19 ini Kementerian Tenaga Kerja merilis data ada 2,8 juta orang yang terkena PHK hingga bulan April 2020. Angka pun meningkat hingga saat ini. Bahkan, diantara mereka tidak menerima pesangon. Angkanya pun terus meningkat hingga saat ini. Diakui atau tidak, di tengah pandemic, masyarakat butuh pendapatan dan pekerjaan untuk bertahan hidup. Di rumah saja malah membuat kehilangan pekerjaan.
Kita harus bercerimin pada negara maju lainnya. Di mana, PHK atau pemecatan karyawan tidak mudah dilakukan. Ada banyak aturan yang sangat rijit, sehingga sangat mustahil jika ada pemecatan atau PHK karyawan oleh suatu perusahaan. Ini terjadi di Korea Selatan. Pada masa pandemic ini masyarakat di sana tidak takut untuk kehilangan karyawan.