
Dalam sejarahnya, NU didirikan dengan tiga misi besar, pertama untuk menegakkan syiar agama Islam dari para kolonialis-misioneris. Kedua untuk menjaga amaliah Sunni-Aswaja (pesantren) dari banyaknya aliran yang mengatas namakan puritanisme islam. Ketiga, berupaya menghapuskan segala macam bentuk penjajahan dengan spirit nasionalisme.
Karena itu para muasis NU, terutama Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asyari, melihat konflik Israel-Palestina persoalan utamanya bukan konflik agama dan politik, yaitu tentang siapa yang paling berhak memiliki tanah, tetapi beliau melihat apa yang terjadi di Palestina sama dengan yang ada di tanah air, yaitu telah berlangsungnya penjajahan (kolonialisme) selama bertahun-tahun.
Melihat konflik Israel-Palestina dari sudut kolonialisme ini perlu kiranya kita merujuk pada lembaran historis sikap pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyeikh Kiai Hasyim Asy’ari dan merunutnya dari sejak berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945).
Sekitar delapan tahun sebelum berakhirnya Perang Dunia II, Kiai Hasyim telah tegas menyatakan bahwa konflik Israel Palestina adalah seperti yang terjadi di Indonesia saat itu, yaitu adanya kolonialisme dan mengajak umat Islam Indonesia untuk mengumpulkan dana yang diberikan kepada rakyat Palestina melalui Palestina Fons dan Majelis Rajabiyah, dimulai tanggal 19 Ramadhan 1356 H atau 23 November 1937
Hasilnya, waktu itu ratusan ribu gulden berhasil dikumpulkan dan dikirimkan ke Palestina untuk perjuangan kemerdekaan dan umat Islam di sana.
Kemudian Kiai Hasyim Asyari membangun komunikasi dengan Ketua Kongres Islam Sedunia di Palestina, Syeikh H.M. Amin Al-Husaini.
Bagi Kiai Hasyim, Syeikh Amin bukan orang asing, tetapi sahabat ketika sama-sama menuntut ilmu di tanah hijaz dan surat balasan Kiai Hasyim Asy’ari kepada Syeikh H.M. Amin Al-Husaini mencerminkan ikatan solidaritas yang kuat antara umat Islam di Indonesia dan Palestina dalam menghadapi penjajahan serta perjuangan untuk meraih kemerdekaan.
Dalam surat balasannya yang tercatat dalam buku berjudul “Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar 1957 (341-342).” oleh Abu Bakar Atjeh, Kiai Hasyim Asy’ari memberikan apresiasi yang mendalam atas perhatian Syeikh H.M. Amin Al-Husaini terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Begitu sebaliknya apresiasi diberikan Hadratus syaekh kepada Syeikh H.M. Amin dan perjuangan rakyat Palestina.
Sebagai wujud dukungan nyata NU pada Palestina, di Kongres M.I.A.I tahun 1938, NU berhasil menggalang dukungan dari seluruh ormas Islam di Indonesia untuk memberikan dukungan moral, spiritual dan finansial dalam rangka membantu kemerdekaan Palestina, yang sedang diacak-acak oleh kolonial (Azyumardi Azra, 1998: 127).
Pada Kongres M.I.A.I 1938 itu pula NU dengan tegas menolak pembagian tanah Palestina menjadi milik warga Israel (Yahudi) dan Inggris. Hal itu bisa dilihat dalam Majalah MIAI tanggal 25 November 1938.
Selain itu, masih di tahun yang sama, Majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) edisi no. 22, tahun ke-7 (20 Redjeb 1357 H/15 September 1938 M) memuat fatwa Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari yang menyerukan dibacakannya doa qunut nazilah sebagai bentuk solidaritas sesama umat Muslim atas peristiwa yang terjadi di Palestina.
Di sana juga disebutkan bahwa beliau Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari telah membacakan doa qunut nazilah tersebut sejak beberapa minggu sebelumnya. Seruan sang Hadratussyekh ini pun segera dijalankan oleh hampir seluruh cabang HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama/PBNU).
Peristiwa pembacaan doa qunut nazilah untuk Palestina ini pun berjalan selama beberapa bulan lamanya. Hal ini sebagaimana tampak juga diberitakan dalam majalah BNO edisi Dzulhijjah 1357 H (Januari 1939). Tertulis di sana:
“Berkenaan dengan itoe, maka berhoeboeng dengan oeroesan Falesthin itoe, H.B.N.O. telah meminta tjabang-tjabangnja mendjalankan Qoenoet Nazilah itoe, dan soedah poela didjalankan di mana-mana tempat di Indonesia sini.”
Dengan demikian, bisa ditarik benang merah, secara umum, bahwa sejak dahulu, seruan internasioanal akan hak kemerdekan suatu bangsa sudah diagandekan oleh tokoh-tokoh besar bangsa kita, salah satunya Kiai Hasyim Asy’ari, untuk menggerakan perjuangan umat Islam sebagai sebuah kesatuan yang harus saling memperkuat satu sama lain.
Sementara secara khusus, hal ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari bukan hanya seorang ulama besar di Indonesia, tetapi juga seorang tokoh yang peduli terhadap isu-isu internasional, terutama yang berkaitan dengan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah, khususnya lagi bangsa umat islam.
Selain dari pada itu, hubungan persaudaraan Islam ternyata dapat melampaui batas-batas negara, untuk membawa harapan dan dukungan bagi mereka yang sedang berjuang demi mendapatkan haknya, yaitu kemerdekaan suatu bangsa. Wallahu’alam bishawab.
Amman-Yordan, 2 April 2025