Saat laper-lapernya, tiba-tiba makanan datang dalam keadaan panas. Mau dimakan langsung tapi bikin lidah kebakar. Yaudah ditiup-tiup dulu biar adem. Tapi, katanya meniup makanan itu dilarang nabi, benarkah?
Dalam sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari memang disebutkan anjuran Rasulullah SAW untuk tidak meniup makanan. Anjuran Rasul SAW ini dalam hadis tersebut disejajarkan dengan larangan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan:
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ، وَإِذَا أَتَى الخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ
Apabila kalian minum, janganlah bernafas di dalam suatu wadah, dan ketika buang hajat, janganlah menyentuh kemaluan dengan tangan kanan. (H.R al-Bukhari).
Dalam hadis di atas, memang tidak disebutkan secara langsung maksud dari anyatanaffas fil ina’. Jika kita hanya memahami secara letterlijk, seolah bernafas saat makan itu dilarang. Namun dalam hadis lain, riwayat Imam at-Tirmidzi dijelaskan bahwa maksud dari redaksi hadis tersebut adalah meniup makanan, bukan hanya sekedar bernafas saat makan.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ
Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang bernafas dalam sebuah wadah, atau meniup makanan dalam wadah tersebut. (H.R at-Tirmidzi).
Setelah membaca dua hadis tersebut jangan lantas berkesimpulan bahwa meniup makanan hukumnya haram, apalagi selanjutnya menganggap bahwa makanan yang ditiup itu berubah menjadi makanan yang haram.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Waqi’ah Ayat 54-56: Minuman Penghuni Neraka
Imam al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam kitab al-asyribah, yaitu pembahasan yang menjelaskan berbagai hal terkait minuman. Dalam kitab ini juga dijelaskan tentang minum susu, minum madu, dan beberapa hal lain. Pembahasan dalam kitab al-asyribah ini lebih menitikberatkan pada akhlak, bukan halal dan haram, kecuali pembahasan terkait hamr dan minuman yang memabukkan.
Kalimat larangan dalam hadis di atas (نهى), bukanlah bermakna keharaman, melainkan hanya makruh, yaitu lebih baik dihindari. Jika ada yang tetap makan atau minum dengan meniup makanan atau minumannya, maka makanan atau minuman itu tidak lantas jadi haram.
Imam al-Munawi menjelaskan alasan mengapa meniup makanan dimakruhkan. Yaitu agar tidak merubah aroma makanan akibat bau mulut kita. Dengan aroma makanan yang berubah tersebut, otomatis saat memakannya pun menjadi tidak enak dan mengganggu rasa dari makanan atau minuman tersebut.
نهى عن النفخ في الشراب فيكره لانه يغير رائحة الماء ( ت عن أبي سعيد ) وقال صحيح (نهى عن النفخ في الطعام ) الحار ليبرد لانه يؤذن بشدة الشره وقلة الصبر ( والشراب ) لما ذكر في حديث آخر ان النفخ على الطعام يذهب البركة ( حم عن ابن عباس ) واسناده حسن
Nabi melarang meniup (makanan) minuman, maka makruh hukumnya karena dapat merubah aroma air (makanan). Nabi juga melarang meniup makanan yang panas agar cepat dingin karena menandakan sifat rakus dan kurang sabar.
Penjelasan Imam al-Munawi ini masuk akal dan lebih bersifat akhlak. Selain itu, pada masa itu, meniup makanan agar cepat dingin seolah menandakan bahwa orang tersebut adalah orang yang rakus dan tidak sabar. Dengan meniup makanan agar cepat dingin ia bisa makan dengan cepat, dan setelah habis, ia bisa nambah lagi. Begitu pun seterusnya. Selain itu, makan terburu-buru bisa berpotensi kita tersedak dan membahayakan kita sendiri. Lagi-lagi, hal ini erat kaitannya dengan akhlak.
Baca juga: Wine dalam Islam
Lalu bagaimana jika kita terburu-buru makan karena dikejar waktu dan harus segera berangkat kerja, bukan punya niatan nambah lagi? Maka dalam kasus ini memiliki dampak hukum yang berbeda. Walaupun demikian, lebih amannya, kita dianjurkan untuk makan makanan yang tidak terlalu panas. Sehingga kita bisa langsung memakannya tanpa harus meniupnya terlebih dahulu.
Selain karena alasan di atas, meniup makanan bisa membuat orang jijik. Coba saja, kamu beli makanan yang panas untuk teman kamu, lalu kamu meniup makanan itu di depan teman kamu, bisa jadi teman kamu jijik dan tak mau memakannya, walaupun ada juga orang yang tidak merasa jijik dengan hal demikian.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Badruddin al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Sahih al-Bukhari:
أن نهيه عليه الصلاة والسلام عن النفخ في الطعام والشراب ليس على سبيل أن ما تطاير فيه من اللعاب نجس وإنما هو خشية أن يتقذرة الآكل منه فأمر بالتأدب
Sesungguhnya larangan Nabi Muhammad SAW untuk meniup makanan dan minuman bukan berarti menunjukkan percikan air ludah itu najis, tapi dikhawatirkan berakibat jijiknya orang yang makan, maka diperintahkan beretika di dalamnya.
Begitu lah etika dan akhlak dalam Islam. Bahkan dalam makan dan minum pun kita dianjurkan untuk beretika. Hal ini demi kebaikan kita sendiri sebagai orang yang makan makanan tersebut atau bagi orang lain yang melihatnya agar tidak merasa jijik.
Dalam perkembangannya, para dokter pun menyarankan untuk tidak meniup makanan. Katanya, ada kaitannya dengan kesehatan kita. (AN)
Wallahu A’lam