Seorang kawan dengan muka ditekuk dan mbesungut mendatangi saya. Dia sudah tahu kalau saya banyak berseberangan pandangan dengan dia. Utamanya soal bela-membela agama.
Mukanya semakin mbesungut saat dia tahu bahwa saya tidak setuju dengan isu kriminalisasi ulama. Saya bilang kepadanya, mendapati fenomena yang ramai diperbincangkan belakangan soal isu kriminalisasi ulama, saya kepingkel-kepingkel ndak karu-karuan. Lucu. Ironis. Miris. Absurd.
Kawan saya itu tidak tinggal diam. Dia bilang kepada saya bahwa idola dan panutannya itu adalah simbol perlawanan.
“Di hadapan rezim yang memuja sistem dajjal seperti saat ini, beliau adalah tokoh utama yang lantang meneriakkan kebenaran. Beliau suara jernih jelmaan suara Tuhan. Beliau simbol perlawanan,” demikian kawan saya berapi-api.
Saya diam saja. Tidak menyahut sama sekali. Saya memerhatikan dengan seksama.
“Menurutmu bagaimana?” dia menyodorkan pertanyaan.
“Anu, kalau misalnya beliau itu simbol perlawanan, mengapa beliau malah lari dan ndak pulang-pulang? Kok beliau ndak milih untuk balik dan mengobarkan api perlawanan? Simbol perlawanan kok malah lari. Aneh,” tanya dan gugat saya.
Dia melotot. Saya senyum. Kami sama-sama diam.
Perbincangan usai dan selebihnya sepi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
Saya jadi ingat kata Pram, keberanian itu seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah. Cara latihannya dengan bertungkus-lumus menghadapi persoalan. Besar-kecil, tebal-tipis diameter persoalan itu bukanlah masalah.
Semakin minim latihan, semakin kendur pula otot-otot keberanian. Semakin jarang menghadapi persoalan, semakin ciut diameter nyali yang kita miliki.
Senyampang dengan Pram, Muchtar Lubis dalam Novelnya Harimau, Harimau bilang kekuatan manusia itu terletak di jiwanya, bukan di fisik dan raganya, apalagi jumlah massanya.
Nyali memang tak bisa dibeli, Encik Habib.