Habib Luthfi, Wajah Teduh Islam Indonesia

Habib Luthfi, Wajah Teduh Islam Indonesia

Habib Luthfi, Wajah Teduh Islam Indonesia
sumber: pusatakamuhibbin

Habib Luthfi bin Yahya mencerminkan wajah keteduhan. Dari segenap narasi perjuangan dan pengabdiannya, Habib Luthfi tak lelah menebar kedamaian dan mendakwahkan Islam Indonesia yang damai dan toleran. Islam wasathiyyah, dengan nilai-nilai moderat yang dapat menjadi rujukan komunitas muslim internasional. Dari komando Habib Luthfi, Jamiyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah menjadi rumah bersama bagi penganut tariqah di negeri ini. Kharisma yang luar biasa, dengan legitimasi pengetahuan, kultural, dan spiritual, menjadikan Habib Luthfi sebagai rujukan ulama internasional.

Habib Luthfi menjadi jangkar Islam moderat di Indonesia. Dengan keteduhan sikap dan kejernihan pikiran, Habib Luthfi mengomando Jatman menjadi rujukan organisasi thariqah yang memiliki jejaring internasional. Habib Luthfi tidak sekedar bicara, beliau memberi teladan, dengan uswah hasanah.

Pada 15-18 Januari 2018 lalu, Jatman menyelenggarakan Muktamar ke XII, di Pekalongan, Jawa Tengah. Agenda ini dilanjutkan dengan sebuah konferensi internasional, pada 18-20 Januari di Jakarta. Presiden Joko Widodo hadir untuk membuka forum ini, yang didampingi oleh segenap tokoh ormas dan pemimpin bangsa. Dalam sambutannya, Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya menjaga perdamaian dan merawat kerukunan.

“Agama di Indonesia ini bermacam-macam, juga lebih dari seratus bahasa lokal yang berbeda-beda. Ini adalah anugrah dan takdir Allah Swt, yang harus kita jaga. Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini, saya titip kepada para kiai, kepada para jama’ah agar hal-hal yang berkaitan dengan ukhuwah kita, baik Islamiyyah, wathaniyyah, basyariyah. Persatuan dan kesatuan dapat kita jaga,” ungkap Jokowi.

Dalam kesempatan ini, Presiden Joko Widodo berpesan kepada para hadirin, agar selalu peduli dan membantu mereka yang kekurangan serta di lembah kemiskinan. Jokowi juga mengajak para peserta Muktamar XII Jatman, untuk mengasah kepekaan sosial, serta mendoakan agar bangsa Indonesia sejahtera, adil dan makmur.

Habib Luthfi bin Yahya, dalam sambutan iftitahnya, mengungkapkan pentingnya tariqah dan sanad keilmuan dari para guru hingga Nabi Muhammad. Dalam kesempatan ini, Habib Luthfi mengungkapkan, tariqah berkembang di Nusantara, bahkan sebelum hadirnya Walisongo di bumi Jawa. “Qadiriyah, Naqsyabandy, Syattariyah, Tijaniyah, Idrisiyyah. Bahkan, tariqah sudah berkembang sebelum kedatangan Wali Sanga,” jelas Habib Luthfi.

Ketika menjelaskan perkembangan tariqah, Habib Luthfi menarasikan kisah al-Imam Muhammad al-Maghrobi, beserta muridnya Sayyid Ibrahim Sunan Bonang. Dari sanad keilmuan keduanya, diteruskan kepada Sunan Kalijaga. “Seorang seniman yang mampu mengejawantahkan budaya, yang dikenal sebagai Kanjeng Sunan Kalijaga, yang tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia,” ungkap Habib Luthfi. Dari jaringan sanad ini, Jamiyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman) dibentuk untuk mewadahi berbagai macam aliran tariqah di negeri ini.

Jatman didirikan oleh lima tokoh, yakni KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Muslih Mranggen, KH. Masykur dan KH Idham Chalid. Pembentukan Jatman melalui proses panjang, yang bertujuan untuk mewadahi aliran-aliran tariqah di negeri ini. Serta, menjadi rujukan tariqah yang mu’tabarah, yang memiliki sanad kuat, secara spiritual tersambung langsung dengan para guru sufi sampai Nabi Muhammad.

Jatman pertama kali menyelenggarakan muktamar pada 20 Rajab 1377, bertepatan dengan 10 Oktober 1957. Agenda muktamar I JATMAN diselenggarakan di pesantren API Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah. Pada muktamar pertama, diprakarsai oleh beberapa kiai waskita, yakni KH. Chudlori, KH. Dalhar, KH. Siradj, serta Kiai Hamid Kajoran. Pada masa awalnya, Kiai Muslih Abdurrahman Mranggen (Demak) mendapat amanah menjadi Rais ‘Aam

Pesan kebangsaan

Saya masih ingat betul, bagaimana Habib Luthfi menegaskan pentingnya cinta tanah air. Pada sebuah kesempatan halaqah, pada Konferensi Internasional Ulama, pada 2017 lalu, Habib Luthfi bin Yahya menggaungkan bahwa cinta tanah air itu hukumnya wajib.

“Wahai bangsaku, relakah negeri kita ini terpecah belah? Jika tidak, ikuti kata-kata saya, bismillahirrahmanirrahim, asyhadu anlaa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, radhiina billahi rabba, wa bil islami dina, wa bi muhammadin nabiyya wa rasula. Kami berikrar, bela negara adalah wajib, bela negara adalah wajib, bela negara adalah wajib,” ungkap Habib Luthfi.

Lalu, bagaimana kontribusi tariqah untuk kebangsaan kita? Petuah dan teladan Habib Luthfi menjadi renungan bagi kita semua, untuk istiqamah menyampaikan ajaran kebaikan dari nilai-nilai Islam. Teladan Islam wasathiyyah, Islam yang mengajarkan moderatisme, menjadi rujukan penting di tengah kondisi bangsa yang sedang bimbang. Apalagi, menghadapi tahun politik pada 2018 dan 2019 ini.

Jika pada masa kolonial, para ulama tariqah sekaligus komunitas sufi berjuang melawan rezim penjajah, merupakan bukti betapa sufisme bukan semata konsep yang melangit. Gerakan tariqah berkontribusi besar bagi perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Di beberapa kawasan, terutama peristiwa 1888 di Banten dan perjuangan Kiai Rifai Kalisalak di Batang dan Kendal Jawa Tengah, memaparkan narasi perjuangan para kiai sufi. Perjuangan Pangeran Dipanegara dan kiai-kiai sufi yang menjadi lingkaran epistemik dan menyusun strategi perang, tidak lepas dari jaringan sanad tariqah Syattariyah.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, jaringan pesantren terkoneksi dengan jaringan ulama tariqah, yang mengkampanyekan nilai-nilai heroik, untuk melawan barisan tentara kolonial di beberapa kawasan, baik di Jawa, Aceh, Maluku hingga Sulawesi. Bahkan, di beberapa kisah, para ulama sufi diasingkan oleh Belanda ke Minahasa, Makassar hingga Ceylon.

Lalu, bagaimana pada masa kini? Para ulama sufi berjuang keras untuk mengkampanyekan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-alamin, Islam wasathiyyah yang menebarkan perdamaian. Di tengah pelbagai ancaman radikalisme, tantangan konflik regional dan internasional, ulama sufi juga berperan penting dalam menarasikan nilai-nilai Islam yang sejuk dan menjadi oase di tengah teriakan perang.

Di negeri ini, jaringan tariqah dan komunitas sufisme penting untuk mencipta oase di tengah komunitas warga yang semakin individual. Urban sufisme merupakan cermin betapa warga-warga kelas menengah juga membutuhkan sentuhan sufisme untuk meraih kebahagiaan. Bahwa, pada zaman yang semakin berlari kencang seperti saat ini, sufisme tetap kontekstual (shahihun likulli zaman wa makan).

Dari segenap narasi perjuangan Habib Luthfi bin Yahya, yang sangat konsisten mengkampanyekan Islam ramah, menjadi teladan bagi kita bersama [Munawir Aziz].