Sabtu lalu (14/1), Kementerian Agama RI mengadakan acara Jalan Sehat Kerukunan dan Deklarasi Damai Umat Beragama. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Amal Bhakti Kementerian Agama RI ke-77 dengan tajuk “Kerukunan Umat untuk Indonesia Sehat”. Salah satu tokoh agama millennial Indonesia yang turut hadir dan mengapresiasi inisiatif Kemenag ini adalah Habib Husein Ja’far.
Seperti yang dilansir dalam situs Kementerian Agama, Habib Husein mengatakan bahwa perbedaan adalah realitas Indonesia. Masyarakat bangsa ini berbeda agama, suku, bahasa, dan beragam hal lainnya. Itulah yang disebut dengan kebhinekaan dan merupakan anugerah Tuhan.
“Tugas kita, di tengah keragaman dan perbedaan, adalah membangun semangat kerukunan. Karena kita yang berbeda kalau tercerai berai itu jadi sampah, tapi kalau bersama-sama kita jadi alat pembersih sampah,” ujarnya.
Habib Husein lalu mengibaratkan kekuatan dari kerukuan dan kekompakan di tengah realitas keragaman seperti sapu lidi.
“Ketika bercerai berai, dia menjadi sampah, ketika bersatu dia menjadi alat pembersih sampah,” jelas Habib Husein.
Dalam rangkaian itu, Habib Husein juga membacakan dan mempimpin Deklarasi Damai Umat Beragama. Dalam deklarasi tersebut, para tokoh agama bersama para ASN Kemenag yang hadir menegaskan komitmen mereka untuk tidak menggunakan rumah ibadah sebagai tempat kampanye dan aktivitas politik praktis. Poin ini menjadi penting untuk mengantisipasi gelombang politik identitas yang melampaui batas menjelang tahun politik 2024.
Dalam deklarasi, ditegaskan juga komitmen untuk menegaskan komitmen kebangsaan, menguatkan moderasi beragama, serta menghindari segala bentuk kebencian.
Salah satu selebriti Indonesia, Olga Lidya, juga mengapresiasi Pembacaan Deklarasi Damai Umat Beragama ini. Menurutnya, deklarasi ini memberi pesan yang sangat kuat tentang pentingnya saling berbuat baik dan terus menjaga kedamaian.
Presenter televisi kondang tersebutjuga menuturkan bahwa segala hal yang baik ada dalam agama. Agama jangan sampai digunakan untuk hal yang buruk, memecah belah, dan menebar kebencian. Agama justru mengajarkan umatnya tentang cinta kasih dan memuliakan Tuhan yang sangat baik kepada kita. Tuhan mengajarkan hal baik kepada kita dan menginginkan kita berbuat baik.
“Jangan sampai di tahun politik ini, agama digunakan untuk kepentingan pribadi, perorangan atau kepentingan politik. Sebab agama harus adem, damai, dan gembira. Mari kita beragama dengan gembira,” tutur Olga Lydia dalam kegiatan Jalan Sehat Kerukunan dan Deklarasi Damai Umat Beragama.
Deklarasi tersebut ditandatangani langsung oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan tokoh lintas agama. Ada empat poin utama yang terkandung dalam naskah Deklarasi Damai Umat Beragama. Pertama, memperkuat komitmen kebangsaan untuk merawat kebhinekaan yang menjadi anugerah terbesar bangsa Indonesia; kedua, mengukuhkan Gerakan Moderasi beragama untuk seluruh umat beragama guna mewujudkan kehidupan sosial yang Rukun dan harmonis; ketiga, menghindari segala bentuk ujaran kebencian, berita bohong, dan tindakan yang dapat mengakibatkan pembelahan sosial akibat polarisasi politik; keempat, berkomitmen untuk tidak menggunakan rumah ibadat sebagai tempat kampanye atau aktivitas politik praktis sebagaimana larangan yang tertuang dalam Undang-Undang Pemilu.
Menariknya, penghayat kepercayaan dilibatkan dalam deklarasi perdamaian ini. Redaksi “Penghayat Kepercayaan” masuk dalam naskah dan disandingkan dengan Tokoh Lintas Agama sebagai tertanda pihak yang concern terhadap isu-isu yang bincang dalam deklarasi. Penyebutan penghayat ini membuktikan bahwa komitmen negara terhadap perdamaian yang menyeluruh sangat tinggi. Dengan terus melibatkan penghayat dalam diskursus warga negara, hak-hak sipil mereka yang masih luput dari negara.
Tampaknya, deklarasi tersebut serius membidik isu tentang konflik sosial akibat praktik politik praktis di Indonesia. Polarisasi sosial benar-benar membawa masalah serius bagi kehidupan beragama kita. Jika dualisme masyarakat hanya terjadi dalam koridor politik saja, pilpres misalnya, maka itu tidak ada masalah. Namun, jika sudah melibatkan agama di dalamnya, maka itu akan jadi masalah karena dampaknya akan sangat tidak terduga. Polarisasi dan politisasi agama berpotensi melahirkan disparitas sosial baru, kotak-kotak yang baru, dan tentu sentiment yang baru juga.
Deklarasi tersebut bukan sebuah titik balik sikap beragama kita, melainkan sebagai upaya untuk menegaskan sekaligus mengingatkan kembali jika karakter beragama kita masih meninggalkan beberapa catatan. Memang naif jika mengharapkan kesempurnaan pada sisi manusia, tapi paling tidak empat poin tersebut menjadi reminder bahwa negara masih terus mengupayakan agar keberagaman kita terus menjadi anugerah, bukan menjadi musibah.