Seorang pemuda bertanya kepada Habib Ali Al-Jufri dalam sebuah forum. Pemuda itu mengatakan bahwa ulama empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, sepakat tentang keharaman musik. Mendengar pernyataan itu, Habib Ali langsung menegaskan, “Tidak ada kesepakatan ulama empat madzhab perihal kaharaman musik. Bahkan, dalam satu madzhab pun tidak ada kata sepakat atas keharaman musik”.
Memang ada ulama yang mengharamkan musik, tapi keliru bila dikatakan seluruh ulama sepakat musik itu haram. Sebab, ada ulama lain juga yang mengatakan bermain musik itu boleh selama tidak menggiring kepada perbuatan yang diharamkan Allah. Jadi sebetulnya ulama beda pendapat terkait hukum musik: ada yang mengharamkan dan ada yang menghalalkan.
Perbedaan pendapat ini sangat jelas dan diakui kebenarannya dalam fikih Islam. Bahkan, perbedaan pendapat ini juga terjadi di kalangan sahabat. Habib Ali mencotohkan dulu sahabat Abdullah bin Jakfar bin Abu Thalib, suami Sayyidah Zainab, pernah mengadakan suatu majelis, didekatnya ada pembantu perempuan yang bersenandung untuk beliau sambil memainkan alat musik.
“Lebih dari 30 ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah dari empat madzhab berpendapat hukum mendengar musik tidak tergantung pada alatnya. Tapi hukumnya tergantung pada dampak yang ditimbulkan bagi orang yang mendengarkan. Jika dampaknya positif, maka menikmati musik boleh. Tapi kalau dampaknya negatif, hukum mendengarkan musik haram dalam keadaan seperti itu” Tegas Habib Ali Al-Jufri
Hukum musik tidak bisa digeneralisir. Tidak bisa dipukul rata musik itu haram. Hukumnya tergantung pada dampak dari musik itu sendiri dan bagaimana cara menikmatinya. Kalau menikmati musik sambil mabuk tentu sudah pasti haram.
Dalam video ceramahnya itu, Habib Ali menegaskan, “Saya menyampaikan ini bukan ajakan terbuka bagi generasi muda untuk mendengarkan musik. Tidak seperti itu maksud saya. Tapi yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai menyempitkan sesuatu yang luas”.
Perbedaan ulama seringkali dikatakan rahmat. Maksudnya, adanya perbedaan itu menunjukkan keluasan hukum. Kita bisa mengambil pendapat yang menurut kita lebih kuat argumentasinya dan sesuai dengan kondisi kita. Ini adalah keluasan hukum Islam yang tidak boleh dipersempit menjadi satu hukum saja.
Habib Ali membagi ada tiga macam orang mendengarkan musik: pertama, pendengar komposer, yaitu pendengar yang fokus pada nada dan notasi: ini nadanya benar atau tidak; harmoni atau tidak.
Kedua, pendengar komposer dan menghayati maknanya, pendengar yang tidak hanya menikmati notasi dan nada, tapi juga menghayati maknanya. Hatinya bisa tergerak rindu pada Allah setelah mendengarkan musik. Rindu pada pasangannya, dan lain-lain. Ingat, ini selama masih dalam koridor syariat.
Ketiga, pendengar yang mungkin sampai jatuh pada larangan agama yang mana itu alasan ulama untuk mengharamkannya. Sebab dulu musik identik dengan miras dan praktik seksual. Itu sebabnya ulama dulu mengharamkan.
Alasan keharamannya bukan karena musik atau alat musik itu sendiri, tapi dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dari mendengar ataupun main musik. Musik dijadikan sarana untuk kemaksiatan, bukan untuk kebaikan. Sebab itu, menurut Habib Ali al-Jufri, tidak ada satupun hadis shahih yang mengharamkan alat musik dan ini diakui oleh ulama empat madzhab. Bahkan berdasar keterangan hadis shahih, faktanya justru sebaliknya, Rasulullah semasa hidupnya pernah mendengarkan orang main rebana, bernyanyi, dan menari.