Temu Nasional (Tunas) Jaringan GUSDURian 2020 memasuki acara puncaknya pada hari Rabu (16/12). Acara puncak rangkaian Tunas 2020 sekaligus memperingati Haul Gus Dur ke-11. Acara puncak tersebut dihadiri oleh Nyai Hj. Sinta Nuriyah Wahid, Alissa Wahid, KH. Husein Muhammad, Mohammad Sobary, dan beberapa tokoh lainnya. Acara tersebut merupakan akhir dari rangkaian acara TUNAS 2020 yang berlangsung selama sepuluh hari sejak tanggal 7 Desember lalu.
Salah satu sesi khusus dari acara pertemuan nasional dua tahunan ini adalah penganugerahan GUSDURian Award. Penganugerahan penghargaan tersebut baru pertama kalinya diselenggarakan dalam temu nasional Jaringan GUSDURian.
GUSDURian Award atau Anugerah GUSDURian merupakan suatu bentuk apresiasi dan rasa hormat yang diberikan Jaringan GUSDURian Indonesia kepada penggerak, lembaga, dan komunitas yang telah melakukan kerja-kerja sosial yang selaras dengan 9 nilai utama Gus Dur.
Apresiasi ini diberikan kepada mereka yang telah membawa perubahan sosial menjadi lebih baik dan mampu menjaga konsistensi dalam berjuang bersama masyarakat.
Terdapat tiga kategori dalam GUSDURian Award, yaitu kategori penggerak, lembaga, dan komunitas. Tahun ini, ketiga kategori tersebut diraih oleh Lian Gogali sebagai aktivis perempuan dan perdamaian di Poso untuk kategori penggerak, Institut Mosintuwu untuk kategori lembaga, dan GUSDURian Semarang sebagai peraih GUSDURian Award untuk kategori komunitas.
Selain menjadi peraih GUSDURian Award untuk kategori penggerak, Lian Gogali juga mewakili lembaga yang ia kelola, yaitu Institut Mosintuwu, menerima penghargaan yang sama untuk kategori berbeda. Dua kabar baik tersebut membuatnya terharu dan sempat tidak bisa berkata apa-apa.
“Ini beyond kehormatan ya. Karena Gus Dur itu bukan cuma sosok yang kita rindukan telandannya, tapi juga sosok yang kita inginkan untuk bisa bersama-sama dengan kita saat ini dan ke depan,” ungkap Lian sembari menyeka air mata.
“Karena itu, mewakili organisasi yang mendapatkan penghargaan dari GUSDURian ini merupakan tanggung jawab kemanusiaan yang besar untuk meneruskan dan meneladankan nilai-nilai Gus Dur,” imbuhnya.
Institut Mosintuwu sendiri adalah perkumpulan orang-orang yang bekerja untuk upaya perdamaian pada saat konflik dan pasca-konflik di wilayah Kabupaten Poso dan sekitarnya.
Lembaga tersebut berdiri atas keprihatinan pada peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan adanya kepentingan ekonomi politik di balik konflik kekerasan yang berakhir pada pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan marjinal.
Sedangkan sebagai peraih GUSDURian Award kategori komunitas, GUSDURian Semarang diwakili oleh salah satu penggeraknya, yaitu Ahmad Sajidin.
“Tentu yang pertama haru karena tidak menyangka bisa mendapatkan penganugerahan ini. Terlebih kami (GUSDURian Semarang), penggeraknya adalah teman-teman muda, mahasiswa di Semarang. Yang mana secara pengalaman mungkin jauh dengan teman-teman GUSDURian yang lain,” kata pemuda yang akrab disapa Ajid tersebut.
GUSDURian Semarang merupakan salah satu komunitas Jaringan GUSDURian yang aktif melakukan kerja-kerja pendampingan pada kelompok ‘yang dilemahkan’. Komunitas ini ikut mengadvokasi penggusuran lahan, mendampingi penyelesaian kasus penolakan pembangunan gereja, dan lain-lain.
Jaringan GUSDURian berharap apresiasi ini bisa menjadi penyemangat, pendorong, serta inspirasi bagi lebih banyak orang, lembaga, dan komunitas untuk terus berupaya mewujudkan Indonesia yang lebih damai, sejahtera, adil, dan bermartabat. [rf]