Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Yahya Cholil Staquf, menjelaskan bahwa di tengah masyarakat yang heterogen, banyak yang telah memiliki kesadaran akan harmoni kehidupan. Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Nasional yang bertema “Menafsirkan Kembali Gagasan Fikih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam” pada Selasa (4/4).
“Dewasa ini kita memiliki kesadaran dan pemahaman tentang keniscayaan, kebutuhan, akan harmoni kehidupan di tengah masyarakat yang heterogen,” ujarnya saat menyampaikan pidato kunci dalam seminar yang diselenggarakan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Kesadaran itu kemudian mensyaratkan adanya toleransi di antara kelompok yang berbeda-beda. Ditambah adanya kemauan untuk hidup berdampingan dan bekerja sama dengan kelompok yang berbeda itu.
Akan tetapi, Gus Yahya tidak bisa memungkiri bahwa kesadaran tersebut masih mendapatkan beragam pertentangan dari kelompok yang tidak setuju.
“Tapi kita juga tahu dan tidak bisa mengingkari, tidak bisa pura-pura tidak tahu, bahwa wawasan tentang kebutuhan akan harmoni sosial ini terus-menerus tidak henti-hentinya mendapat pertentangan-pertentangan,” imbuhnya.
Pertentangan itu, menurut Gus Yahya, terwujud dalam berbagai bentuk. Mulai dari gugatan atau bantahan berupa argumen hingga gerakan-gerakan kekerasan. Semua itu dimaksudkan tidak lain adalah untuk melawan pemahaman tentang kebutuhan harmoni sosial ini.
Gus Yahya secara spesifik menyebut gerakan radikal, ekstrimis, dan juga teroris. Gerakan-gerakan itu sudah ada sejak lama, dan akan muncul setiap ada momen yang selaras dengan tujuan mereka.
“Kita tahu bahwa apa yang belakangan ini kita sebut sebagai gerakan radikal, eksrimis, teroris, dan sebagainya itu, sebetulnya bukan gejala baru. Ini adalah gejala lama yang terus berulang dan berulang setiap kali ada momentum yang kompatibel dengan tujuan-tujuannya,” tuturnya.
Gerakan radikal dan ekstrimis yang paling dikenal di dunia internasional adalah Al-Qaeda dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Al-Qaeda pertama kali didirikan sekitar tahun 1988, sedangkan ISIS didirikan sekitar tahun 2004.
Namun, jauh sebelum itu, di Indonesia telah eksis gerakan yang serupa. Gerakan yang dimaksud adalah DI/TII yang dipimpin oleh R.M. Kartosoewirjo yang didirikan sekitar tahun 1948. Juga ada Komando Jihad yang sempat eksis dalam kurun tahun 1968 hingga pertengahan dekade 1980-an.
Kelompok-kelompok seperti itulah yang biasanya menjadi penentang kesadaran atau wawasan tentang harmoni kehidupan di tengah masyarakat yang heterogen.
“Ini berarti, bapak/ibu sekalian, apa yang mungkin oleh banyak di antara kita telah diterima sebagai salah satu keniscayaan, sebetulnya masih merupakan hal yang diperdebatkan,” bebernya.
Menurut Gus Yahya, perdebatan atau pertentangan yang terjadi disebabkan perbedaan rujukan atau dalil yang digaungkan oleh para tokoh agama maupun ulama. Di satu sisi, banyak tokoh agama yang menonjolkan dalil-dalil yang mendorong pada tindakan welas asih dan toleran kepada kelompok yang berbeda.
Namun, di sisi lain, ada juga tokoh agama yang menonjolkan dalil lainnya yang justru berseberangan dengan yang sebelumnya. Yaitu dalil yang dipahami sebagai kebolehan untuk melakukan kekerasan kepada kelompok yang berbeda.
“Kedua pihak sama-sama bawa ayat, kedua pihak sama-sama bawa dalil. Maka, sebetulnya ada kebutuhan yang mendesak untuk segera menemukan kata ‘putus’ atas sengketa ini,” terangnya.
Hal-hal itulah yang kemudian mendorong Gus Yahya, bersama PBNU yang dipimpinnya, untuk menyediakan platform diskusi bagi para tokoh agama.
“Maka, PBNU kemudian berikhtiar untuk menyediakan suatu platform bagi para ulama yang mungkin saling berbeda pendapat ini untuk menemukan kata putus tentang hal-hal paling strategis di dalam kehidupan umat manusia ini. Di tengah masyarakat dunia yang penuh keragaman ini,” jelasnya.
Platform yang dimaksud antara lain International Summit of Moderate Islamic Leaders pada tahun 2016. Hingga yang terakhir adalah Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang baru saja digelar pada bulan Februari lalu.