Gus Yahya: Ada Kecenderungan Dehumanisasi di Media Sosial

Gus Yahya: Ada Kecenderungan Dehumanisasi di Media Sosial

Kecenderungan dehumanisasi di media sosial nampak ketika manusia hanya dilihat sebagai sebuah akun yang tidak memiliki perasaan.

Gus Yahya: Ada Kecenderungan Dehumanisasi di Media Sosial
KH. Yahya Cholil Staquf dalam pembukaan kegiatan Muktamar Pemikiran NU ke-2 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. (Naufal/Islamidotco)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Yahya Cholil Staquf, menilai bahwa kecenderungan dehumanisasi telah terjadi di media sosial. Hal ini disampaikan saat dirinya memberikan pidato kunci pada pembukaan Muktamar Pemikiran NU ke-2 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Jumat (1/12) kemarin.

“Teknologi informasi saat ini dengan media sosial dan lain sebagainya, ini sudah membiasakan dehumanisasi,” ujarnya.

Sebelum itu, tokoh yang akrab disapa Gus Yahya ini membeberkan konsekuensi dari kehidupan manusia yang berkembang pesat, yaitu angka-angka menjadi sentral dalam berbagai macam pertimbangan. Manusia tidak punya pilihan selain menggunakan angka sebagai pertimbangan, mengingat besarnya skala perkembangan yang berlangsung.

Sayangnya, hal ini menimbulkan masalah. Orang-orang menjadi terbiasa membuat pertimbangan hanya berdasarkan angka-angka.

“Seringkali dan sekarang ini sudah terasa. Orang-orang itu lupa bahwa angka itu adalah jumlah manusia-manusia. Manusia-manusia disederhanakan ke dalam angka,” paparnya.

Menurutnya, fenomena ini yang kemudian membuat manusia tidak lagi dilihat sebagai manusia seutuhnya, melainkan hanya sebagai angka-angka. Inilah yang disebutnya sebagai kecenderungan dehumanisasi.

“Maka, di sini ada, kalau mau disebut, ancaman yang serius sekali, yaitu kecenderungan dehumanisasi di dalam pergulatan, termasuk pergulatan pemikiran, apalagi pergulatan kebijakan,” terangnya.

Berdasarkan pengamatannya, percakapan-percakapan yang terjadi di media sosial menunjukkan adanya kecenderungan itu. Manusia dilihat hanya sebatas sebagai sebuah akun media sosial yang tidak memiliki perasaan. Sehingga, seringkali mereka tidak diperlakukan layaknya seorang manusia.

“Orang tidak lagi dilihat sebagai manusia yang sama-sama punya darah daging, sama-sama hidup dikelilingi orang-orang yang disayangi. Tapi, hanya dilihat sebagai akun, yang lalu tidak terlalu dipedulikan bagaimana perasaannya, bagaimana akibat akibat yang diterima ketika diperlakukan dengan cara-cara yang tidak semestinya,” tegasnya.

Gus Yahya mencontohkan, dalam percakapan terkait konflik Palestina-Israel, ribuan korban yang berjatuhan hanya dilihat sebagai sebuah angka. Padahal, mereka adalah para manusia yang bisa merasakan sakit dan memiliki keluarga.

Muktamar Pemikiran NU ke-2 yang bertajuk “Imagining the Future Society” ini bertujuan untuk menghimpun pemikiran ulama dan kader-kader NU terkait dengan masyarakat masa depan yang sejalan dengan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah sekaligus merumuskan tatanan masyarakat yang bisa membawa dampak terhadap kesejahteraan hidup manusia.