Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Karya mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat. Banyak kalangan yang menolak pengesahan UU kontroversial ini. Para pemuka agama juga ikut melakukan aksi tolak UU Cipta Kerja.
Nahdlatul Ulama terlebih dahulu melancarkan protes jauh sebelum UU ini masih dalam taraf pembahasan. Muhammadiyah pun demikian. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini tak ingin berkompromi dengan UU yang berpotensi menyengsarakan masyarakat akar rumput yang menjadi basis dua ormas keagamaan ini.
Senada dengan NU dan Muhammadiyah, para pemuka agama yang terdiri dari tokoh lintas agama juga menyuarakan hal yang sama. Pada Selasa (6/10) lalu, melalui virtual mereka menggelar konpres penolakan ini.
Dalam konpres tersebut ada beberapa tokoh lintas agama, pdt. Penrad Siagian, Gus Ulil Abshar Abdalla, pdt. Mery Kolimon, Roy Murtadho, Trisno Rahardjo, ketua Majelis Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Engkus Ruswana dari MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia). Mereka sepakat untuk tolak UU Cipta Kerja.
Dalam paparan mereka, banyak sekali pihak yang dirugikan atas pengesahan UU ini, khususnya terkait dengan beberapa klaster, seperti klaster pendidikan, ketenagakerjaan, dan klaster sumber daya alam.
Ulil Abshar Abdalla sebagai pembicara pertama menjelaskan bahwa seharusnya pemerintah dalam mengambil kebijakan selalu berpijak pada kemaslahatan rakyat. Gus Ulil menyebutkan sebuah kaedah fikih yang selalu dikutip Gus Dur, “Tasharruful imam alar ra’iyyah manutun bil maslahah.”
“Saya menganggap ada yang salah dalam sebuah sistem atau cara negara kita dikelola. Saya sedih sekali bahwa baik pemerintah maupun DPR kita, akhir-akhir ini, di dalam beberapa tahun terakhir ini, makin tidak bisa mendengarkan suara rakyatnya sendiri,” tutur Gus Ulil.
Gus Ulil juga mengingatkan bahwa dalam bernegara, tugas kaum agama adalah mengoreksi pemerintah jika melakukan kesalahan, bukan untuk memberontak pemerintah. Sehingga jangan disalahfahami ketika kaum agama menolak dan mengkritik kebijakan pemerintah dianggap memberontak pemerintah.
“Tugas kaum agama itu bukan memberontak pemerintah, tetapi mereka mengoreksi jika pemerintah itu salah. Tugas kaum agama bukan memberikan legitimasi kepada orang-orang yang punya kekuasaan besar, baik kekuasaan politik, kekuasaan ekonimi atau kekuasaan budaya.
Bagi Ulil, orang yang memiliki komitmen moral etis keagamaan adalah memberikan koreksi ketika terjadi suatu penyimpangan dalam pengelolaan negara. Bahkan saat ini, menurut Ulil, telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang sangat mengenaskan, mulai revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, hingga yang UU Omnibus Law.
Menurut menantu Gus Mus ini, jika saat ini kita tidak bisa melakukan apapun karena UU ini sudah disahkan, maka minimal kita harus menyuarakan aksi untuk tolak UU Cipta Kerja ini dengan mosi tidak percaya.
Trisno Rahardjo melihat bahwa UU ini memberi hak penuh kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadikan masyarakat tidak mampu untuk berpartisipasi.
“Ini adalah perampokan terhadap kedaulatan rakyat berkenaan dengan partisipasi masyarakat untuk mendapatkan hak terhadap pengaturan yang terbaik,” ujar Trisno Raharjo.
Para pemuka agama ini juga membuat petisi melalui platform Change.org dan telah ditandatangai lebih dari satu juta orang.