Gus Nadir meninggalkan media sosial dan lebih memilih fokus untuk mengajar di Monash University. Ia memberi kritik menarik soal bagaimana penggerak Islam rahmah di media sosial harusnya bekerja
Gus Nadir, sapaan akrab Prof. Nadirsyah Hosen, seorang Ilmuwan sekaligus ulama yang mengajar di Monash University di Australia. Beliau memilih jalan untuk meninggalkan media sosial dan lebih memilih fokus menekuni profesinya sebagai pengajar atau dosen di Monas University.
Dalam webinar yang secara khusus membedah salah satu karyanya yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an di Media Sosial” yang dilaksanakan secara online Minggu Pagi, 20 September 2020, Gus Nadir membeberkan alasannya meninggalkan media sosial. Menurutnya, media sosial menyajikan informasi yang sangat beragam dan bermacam-macam, mau tidak mau kita harus mengikuti informasi tersebut. Atau kalau tidak, akan tertinggal informasi.
Hal inilah yang menurutnya sangat berpengaruh. Kita menjadi lebih banyak terintervensi oleh media sosial, yang mana kita harus betul-betul mengikuti arus informasi yang tersaji alih-alih menyebarkan gagasan atau opini kita di sana.
Bukan hanya itu, dengan informasi yang tersaji, banyak di antara kita yang lebih reaktif dalam menanggapi banyak banyak hal. Kita menjadi orang yang suka membantah informasi yang menurut kita kurang tepat daripada kita memproduksi dan menyebarkan informasi yang lebih tepat kita pahami. Dalam kata lain, kita lebih banyak terinfluence oleh informasi daripada menjadi influencer atau agen informasi tersebut.
Di titik inilah yang menurut Gus Nadir, kita harus sesegera mungkin mengubah mindset. Menurutnya, kita Harus menempatkan diri sebagai orang yang kreatif, bukan reaktif. Sebab, jika selamanya menjadi reaktif, diri kita akan selamanya terdikte oleh informasi atau kita hanya akan tergiring opini ketimbang menggiring opini itu sendiri.
Saran yang Gus Nadir utarakan berlaku untuk kita, khususnya, para influencer yang selama ini aktif menyuarakan Islam yang ramah atau rahmatan lil ‘alamin di media sosial. Sebab, selama ini banyak di antara aktivis media sosial yang hanya fokus membuat reaksi atas penggiringan opini yang dilakukan oleh akun-akun yang menebar pemahaman keagamaan yang kurang tepat atau keliru.
Sudah saatnya, menurut Gus Nadir, kita harus menjadi orang yang kreatif dalam menyebarkan pemahaman keagamaan yang baik dan tepat daripada terus-terusan hanya menunggu momentum -dalam bahasa penulis- counter attack atau menyerang argumen yang telah diutarakan oleh akun-akun penyebar paham keagamaan yang keliru.
Di sinilah, Gus Nadir begitu gamblang menjelaskan tugasnya sebagai ulama, bahwa ulama tidak bisa diintervensi oleh apapun dan oleh siapapun termasuk informasi yang tersaji di media sosial.
Baginya, ulama haruslah menjadi sosok yang independen dan objektif dalam menentukan sebuah produk hukum atau sebuah tafsir atas sebuah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kendatipun pendapatnya ditunggu oleh penentu kebijakan atau masyarakat banyak sekalipun.
Dalam contoh yang diberikan, Gus Nadir pernah mengutip pendapat ulama yang berbeda haluan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam pemahaman tafsir bahwa tidak ada paksaan dalam beragama sampai-sampai ia dihubungi oleh beberapa tokoh agama yang mengatakan ketidaksetujuannya terhadap kutipannya tersebut. Akan tetapi, dengan tenang dan santun, Gus Nadir menjelaskan bahwa ulama yang berbeda pahamnya saja mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi pendapat tokoh Ahlu Sunnah wal Jama’ah.
Artinya, di sini Gus Nadir memberi kesan, kita harus objektif dalam menentukan pendapat tanpa melihat latar belakang di balik eksistensi tokoh tersebut.
Tentu, ini menjadi kritik untuk kita semua khususya para aktivis media sosial yang aktif menyebarkan narasi keislaman yang ramah untuk menjadi lebih kreatif lagi dan tidak mau atau jangan sampai hanya tergiring oleh opini yang tersaji daripada menggiring opini itu sendiri. Terakhir, tabik bagi kita semua para fans Gus Nadir dan muhibbinnya.