Gus Dur, Mengambil Telur Emas Tanpa Mengganggu Induknya

Gus Dur, Mengambil Telur Emas Tanpa Mengganggu Induknya

Tidak mengejutkan jika pemikiran dan gerakan Gus Dur memiliki jejak dan pengaruh yang kuat.

Gus Dur, Mengambil Telur Emas Tanpa Mengganggu Induknya

 30 Desember tepatnya sewindu lalu Indonesia kehilangan sosok seorang bapak, Gus Dur. Indonesia bagian barat, tengah bahkan timur merasakan kepergiannya. Selain merenungi dan meratapi “kehilangan”, memperingati kepergian tokoh besar juga membangkitkan semangat, etos serta cita-citanya.

Nahasnya, beberapa tahun lalu Gus Dur dengan segala perjuangannya di kancah pemerintahan, dihentikan oleh sekelompok elite politik hanya karena kepentingan. Padahal, jelas terlihat hasil jerih payah Gus Dur sebagai sosok bapak negara. Berbagai gagasan tentang sosio-politik, pluralisme hingga humanitarianisme benar-benar terwujud dengan baik. Tidak omong kosong.

Pada dasarnya, banyak rakyat yang saat itu pun membela dan tidak rela Gus Dur melepaskan jabatannya. Namun, demi terjaganya keharmonisan rakyat serta menghindari gesekan kelompok bangsa, Gus Dur memilih menyudahi masa kepresidenannya. Gus Dur bahkan tidak menghiraukan permainan rival-rival politiknya.

Ironisnya, kala bangsa ini sedang terbelit problematika akut, mereka ingin mengahdirkan kembali sosok Gus Dur. Sekejap lupa dosa-dosanya di masa lalu kepada Gus Dur. Ya, mengenang tokoh besar sekaliber Gus Dur merupakan suatu ikhtiar menggali lebih jauh tentangnya, dan tentang Indonesia. Bahkan, Gus Dur tidak hanya sebagai ikon panutan Indonesia, tapi juga hingga ranah global.

Tidak mengejutkan jika pemikiran dan gerakan Gus Dur memiliki jejak dan pengaruh yang kuat. Bagaimana tidak, di antara sejumlah cendekiawan muslim di Indonesia yang digadang-gadang sebagai ‘pembaharu’, selalu Gus Durlah yang memiliki pengikut paling nyata dan besar.

Sebelum lebih jauh, penting mengetahui lebih dulu pengertian ‘pembaharuan’ yang selama ini terkenal dalam dunia Islam. Dalam arti longgarnya, pembaharuan sebagai suatu upaya penyesuaian pemikiran-pemikiran keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Segala penghalang bagi kemajuan Islam disingkirkan begitupun sebaliknya. Pembaharuan Islam sebagian besar merupakan reaksi terhadap kenyataan sosial umat Islam sebagai bangsa terjajah, terbelakang, miskin, bodoh serta terjerat pemikiran-pemikiran takhayul, bid’ah dan khurafat.

Pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam banyak menggembor-gemborkan kembali ke dasar Islam, pemurnian dan pembersihan dari unsur-unsur non-Islam, serta pembukaan pintu ijtihad dan tidak lagi taqlid. Namun, ijtihad hanya ditekankan pentingnya tapi tidak pernah benar-benar bisa dilakukan. Bahkan hanya menjadi slogan. Watak antiintelektualisme dari gerakan pembaruan keagamaan tersebut justru membuat tubuh Islam semakin kurus kering dengan sikap kaku dan angkuh. (Abad ke-7M hingga abad ke-20M).

Lantas, bagaimana gagasan pembaharuan Gus Dur?

Pembaharuan, menurut Gus Dur adalah suatu gerakan yang mesti dilakukan secara bertahap dan menggunakan pendekatan yang persuasif. Karena itu, meski dijuluki bapak pembaharuan. Gus Dur tidak pernah menggunakan pembaharuan sebagai nama proyek pemikirannya. Greg Barton menjelaskan, kalimat yang biasa digunakan Gus Dur adalah ‘dinamisasi’ atau ‘dinamisme’ yang menurut interpretasinya tidak lain dan tidak bukan adalah kata ganti dari pembaharuan.

Dalam hal ini, ada hal siasat yang ditawarkan Gus Dur, yakni ‘membudayakan terobosan’. Gus Dur memberi contoh dengan gagasan madrasah mizamiyah dari ayahnya. Yakni berupa pendidikan agama dengan sistem kurikulum campuran. Awalnya, memang tidak semua merespon baik, karena pada zamannya hanya pendidikan agamalah yang dikedepankan. Namun ternyata, konsep madrasah tersebut akhirnya banyak ditiru dengan alasan terbuktinya kualitas tinggi dari para alumninya.  Dengan budaya terobosan tersebut, menurut Gus Dur derajat toleransi umat terhadap inovasi menjadi cukup besar.

Searah dengan siasat Gus Dur, dapat dijadikan refleksi untuk kita bahwasannya bukan hanya ke-Islaman saja yang patut dikembangkan. Pasalnya, Indonesia adalah bangsa yang kaya akan perbedaan. Ambillah aspek yang baik dan buang yang buruk sebagai pelajaran. Darimanapun itu, meski dari Barat, non-Islam atau sebagainya tanpa mengurangi ke-Islaman kita.

 

Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.

 

Teruntuk Gus Dur, Al-Faatihah…